BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Psikolog kepribadian cenderung menghindari
pembicaraan filosofis atau religious yang abstrak, dan lebih berfokus pada
pikiran, perasaan, dan perilaku nyata manusia. psikologi kepribadian dapat
didefinisikan sebagai studi ilmiah yang mempelajari kekuatan-kekuatan psikologis
yang membuat masing-masing individu unik. Kepribadian mempunyai delapan aspek,
yaitu individu dipengaruhi aspek ketidaksadaran, dipengaruhi kekuatan ego,
seseorang adalah makhluk biologis, setiap orang dikondisikan dan dibentuk, setiap
orang memiliki sebuah dimensi kognitif-berpikir mengenai dunia di sekitar
mereka, individu merupakan suatu kumpulan trait, kemampuan, dan kecenderungan
yang spesifik, manusia mempunyai dimensi spiritual dalam hidupnya, dan terakhir
hakikat dari seorang individu adalah berinteraksi. [1]
Teori kepribadian itu muncul dari observasi
dan intropeksi mendalam dari para pemikir. Selain itu kepribadian juga
diperoleh dari penelitian empiris dan sistematis juga melibatkan analogi dan
konsep yang diperoleh dari disiplin ilmu lain yang terkait. [2]
Memahami kepribadian seseorang menjadi modal
utama seorang konselor dalam membantu konseli menemukan pemecahan masalah yang
terdapat dalam dirinya. Setiap manusia di dunia ini memiliki kepribadian yang
berbeda-beda. Makalah ini akan membahas salah satu teori kepribadian,
teori-teori kepribadian dikelompokkan menjadi empat paradigma, yaitu paradigma
psikoanalisis, paradigma trait, paradigma kognitif, dan paradigma behaviorisme.
Dalam makalah ini memfokuskan pada paragdigma psikoanalisis oleh Anna Freud,
Erich Fromm, Karen Horney, Harry Stack Sullivan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana
paradigma psikologi ego Anna Freud ?
2.
Bagaimana
paradigma psikoanalisis humanistik Erich Fromm ?
3.
Bagaimana
paradigma psikoanalisis sosial Karen Horney ?
4.
Bagaimana
paradigma psikiatri interpersonal Harry Stack Sullivan ?
C.
Tujuan
1.
Mengetahui
paradigma psikologi ego Anna Freud
2.
Mengetahui
paradigma psikoanalisis humanistik Erich Fromm
3.
Mengetahui
paradigma psikoanalisis sosial Karen Horney
4.
Mengetahui
psikiatri interpersonal Harry Stack Sullivan
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Anna Freud
(Psikologi Ego)
Ketika Freud meninggal, psikoanalisis mulai
memusatkan diri pada sifat kekuatan ego dalam membimbing kemampuan manusia. Menurut
Anna Freud salah suai atau malajusmen bukan semata-mata hasil pertentangan dari
id, ego, dan superego, tetapi neurosis mungkin juga dapat disebabkan oleh hidup
yang tidak mempunyai tujuan, ketidakmampuan menciptakan harmoni antara diri
dengan lingkungan sosialnya.[3]
Penyakit kejiwaan yang terjadi dalam pribadi seseorang itu tidak hanya muncul
dari id, ego, atau superego. Hal itu bisa muncul dikarenakan oleh
ketidakmampuan seseorang menciptakan harmoni atau hubungan yang baik antara
dirinya dengan lingkungan sosialnya. Anna lebih tertarik meneliti tentang ego,
sehingga muncul teori pengembangan dari psikoanalisis yang disebut psikologi
ego. Teorinya dapat diringkas dalam tiga
konsep pokok, sebagai berikut:
a.
Psikoterapi
Anak
1)
Terapi
Gabungan: kekaguman dan kepercayaan
Teknik psikoanalis seperti asosiasi
bebas, interprestasi mimpi, dan analisis transferensi tidak dapat diterapkan
begitu saja kepada anak. Prosedurnya harus digabungkan dengan teknik yang lebih
langsung, agar dapat langsung membantu anak berjuang untuk tumbuh, masak,
berubah dan menguasai realitas di dalam dan di luar dirinya. Anna freud menggabungkan
kekaguman dan kepercayaan untuk membantu anak dalam melawan serangan dunia luar
yang tidak terfahami.[4]
Maksudnya Anna Freud mempercayakan kepada kemampuan anak untuk beradaptasi
langsung dengan lingkungan sosialnya agar anak mampu belajar
2)
Melampaui
Konflik Struktural: Bahaya perkembangan
Kelenturan anak dan perkembangan
menuju kemasakan yang berkelanjutan, memaksa analis anak memfokuskan diri bukan
pada symptom neorotik yang tampak sekarang, tetapi lebih kepada tujuan agar
berfungsi sehat pada masa yang akan datang. Gangguan perkembangan, ancaman
kemasakan berkelanjutan, fisik maupun psikis, harus banyak diperhatikan. Anna Freud mengembangkan sistem diagnosis
yang mementingkan pembentukan kepribadian dalam tahap perkembangan.[5]
Menurutnya pembentukan kepribadian anak itu dalam masa perkembangannya, tidak
hanya memfokuskan pada penyakit kejiwaan yang dialami oleh anak pada saat ini,
tetapi lebih diutamakan untuk membantu anak mampu mengatasi gangguan
perkembangan di masa-masa yang akan datang dalam kehidupan di masa depan.
3)
Asesmen
Metapsikologis
Anna mengemukakan dengan memakai
profil assesmen metapsikologis dapat diperoleh tiga keuntungan. Pertama,
memberi arahan yang kongkrit dan seragam, data apa saja yang harus diungkap
dari klien. Kedua, mengintegrasikan hasil observasi dengan data sejarah
kehidupan klien menjadi gambaran yang utuh bagaimana kepribadian anak berfungsi
dan berkembang. Ketiga, memakai konsep-konsep psikoanalisis dan
mengintegrasikan teori-teori yang ada untuk memperoleh peta psikologis. [6]
4)
Pentingnya
Realistas Sosial
Anak lebih tergantung dan lebih
mudah dipengaruhi oleh realitas eksternal saat itu. Psikoanalisis anak harus
siap menerima proposi bahwa ketergantungan kliennya kepada orang tua, konflik
klien dengan saudara, hubungannya dengan guru, dan otoritas lain yang terjadi
saat itu. Gangguan neurotik pada orang dewasa umumnya bersifat internal dan
sumbernya pada masa lalu, berbeda dengan anak bahwa suatu simptom bisa
disebabkan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. [7]
Kondisi anak berbeda dengan orang dewasa, anak lebih mudah dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan sosialnya, gangguan kejiwaan pada anak bisa saja terjadi
karena peristiwa yang terjadi saat itu juga, tidak terpaku oleh masa lalunya.
b.
Garis
Perkembangan (Developmental Lines)
Dimulai dari
dominasi id untuk memperoleh kepuasan, secara bertahap akan bergeser ke ego,
untuk pada akhirnya ego dapat menguasai realitas internal maupun eksternal.
Interaksi oleh Anna Freud disebut garis perkembangan, suatu urutan tahap-tahap
kematangan anak dari ketergantungan menjadi pribadi yang mandiri.[8]
Anna Freud mengemukakan enam garis perkembangan, yaitu dari ketergantungan
menjadi percaya diri, dari mengisap menjadi makan makanan keras, dari ngompol
dan ngobrok menjadi dapat mengontrol urinasi/ defakasi, dari tidak bertanggung
jawab menjadi bertanggung jawab mengatur tubuh, dari egosentrik menjadi
kerjasama dan dari tubuh menjadi mainan, dan dari bermain menjadi bekerja. [9]
c.
Mekanisme
Pertahanan
Anna Freud
memperluas defense mechanism. Anna Freud menambahkan dengan repression,
isolation, ascetism, denial, sublimation, undoing, introjection, reversal,
turning, againt the self sublimation/displacement.
2.
Erich Fromm
a.
Gambaran Umum
Errich Fromm
Errich Fromm
lahir pada tanggal 23 Maret 1990 di Frankfrut, Jerman. Setelah dilatih dalam
psikoanalisis Freudian dan dipengaruhi oleh Karl Marx, Karen Horney dan para
teoretikus, Errich Fromm mengembangkan suatu teori kepribadian yang menenkankan
pengaruh dari faktor dari dalam pikiran, sosiologis, sejarah, ekonomi, dan
struktur kelas. Psikoanalisis Humanistiknya mengasumsikan bahwa kecemasan dasar
atau perasaan kesepian dan isolasi disebabkan oleh terpisahnya manusia dari
dunia alam. Pandangan Errich Fromm tentang kodrat manusia dibentuk oleh
pengalaman masa kanak-kanak. [10]
Fromm memilih
nama teorinya “ humanistik dialektik”, karena yang ingin dia tunjukkan adalah
perhatiannya terhadap perjuangan manusia yang tidak pernah menyerah untuk
memperoleh martabat dan kebebasan, dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia
untuk berhubungan dengan orang lain. [11]
b.
Kebutuhan
Manusia
Fromm
berpendapat bahwa satu perbedaan penting antara orang-orang bermental sehat dan
yang neorotik (tidak sehat) ialah orang-orang yang sehat menemukan jawaban yang
benar-benar lebih cocok dengan kebutuhan manusia. Fromm telah menetapkan lima
kebutuhan eksistensial yang khas manusia, yaitu: keterhubungan (relatedness),
keterberakaran (rootedness), transedensi, perasaan identitas, kerangka
orientasi.[12]
1)
Kebutuhan akan
Keterhubungan (relatedness), dorongan untuk bersatu dengan orang lain.
Untuk mengatasi perasaan kesendirian dan isolasi dari alam dan dari diri
sendiri, manusia perlu mencintai, memperhatikan orang lain. Pendapat Fromm
bahwa cinta merupakan satu-satunya jalan seseorang dapat bersatu dengan dunia.
Dia mendefinisikan cinta sebagai suatu kesatuan dengan seseorang di luar
dirinya sendiri dalam kondisi mempertahankan pemisahan dan integritas dirinya
sendiri. Untuk mencintai orang lain, seseorang harus memelihara orang itu dan
rela mengurusinya. [13]
Dengan kata lain, bahwa seseorang akan mampu memuaskan kebutuhan akan
keterhubungan dengan cara mencintai orang lain.
2)
Kebutuhan akan
Keterberakaran (rootedness), kebutuhan untuk memiliki ikatan yang
membuatnya merasa kerasan di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia
menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan. Pertama, dia direnggut dari
akar-akar hubungannya dengan situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi
sendirian dan kehilangan ikatan alamiah). Kedua, fikiran dan kebebasan yang
dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan
isolasi/ tak berdaya.[14]
Artinya manusia yang terlahir di dunia akan terpisah menjadi manusia yang
mandiri, tidak lagi bergantung dengan ibunya seperti pada masa dalam kandungan.
Manusia membutuhkan rasa aman agar merasa betah dengan dunia yang ada
dihadapannya saat ini dan yang akan datang. Karena manusia sepanjang hidupnya
membutuhkan rasa aman seperti yang dirasakannya di dalam kandungan ibunya.
3)
Kebutuhan akan
Transedensi, yaitu dorongan untuk mengatasi peran ciptaan, eksistensi yang
aksidental dan pasif dengan menjadikan diri sebagai pencipta. Karena individu
menyadari dirinya dan dunianya maka dia sekali-sekali mengakui bahwa alam
semesta yang luas betapa menyeramkan dan menakutkan. Dengan demikian dia bisa
dengan mudah dikalahkan karena dia sendiri sadar akan ketidakberdayaan dan
kelemahannya. Setiap orang harus mengalahkan ketakutan dan keraguannya sendiri
dalam berhadapan dengan alam semesta. Transedensi dapat dikejar dengan cara
produktif dan tidak produktif. Dengan cara produktif, manusia mampu menjadi
kreatif, dapat menciptakan kesenian, agama, ide-ide, hokum-hukum, barang
material dan cinta. Tetapi daripada itu manusia juga bisa melebihi kehidupan
dengan membinasakan. Fromm mengemukakan manusia bisa menggunakan agresi yang
jahat, yaitu membunuh tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Hal ini tidak
berlaku untuk semua manusia, hanya beberapa orang dan kebudayaan. [15]
4)
Kebutuhan akan
Perasaan Identitas, kapasitas untuk menyadari bahwa manusia sebagai pribadi yang
mengontrol nasibnya sendiri, mengambil keputusan, dan merasakan bahwa hidupnya
adalah miliknya sendiri. Orang-orang yang sehat memilki perasann identitas yang
otentik.[16]
5)
Kebutuhan akan
Kerangka Orientasi, karena mnausia tidak terlepas dari alam maka membutuhkan peta
jalan, suatu kerangka orientasi untuk melapangkan jalan di seluruh dunia. [17]
Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup,
perjalanan hidup, tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak
dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.[18]
c.
Mekanisme
Pelarian Diri dari Kebebasan
Menurut Fromm,
ciri orang yang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu
bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu
berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta.
Terdapat dua
cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam hidup. Pertama, berusaha
menyatu dnegan orang lain, melalui pendekatan optimistik dan altruistic, yaitu
menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta. Melalui ekspresi perasaan dan kemampuan
intelektual yang tulus dan terbuka. Fromm menyebut pendekatan humanistik, yang
membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara
dari yang lain. Kedua, dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan
individualitas dan integritas diri kepada orang lain atau lembaga.[19]
Cara
memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain oleh Fromm
disebut mekanisme pelarian, ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yaitu:
1)
Otoritarisme, kecenderungan
untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau
sesuatu di luar dirinya. Kebutuhan untuk menggabungkan kekuatan tersebut ada
dua cara, yaitu masokisme dan sadisme. Masokisme disebabkan oleh perasaan yang
tidak berdaya, lemah, dan inferior yang dibawa saat menggabungkan diri dengan
orang lain.[20]
Akibatnya disini seseorang akan menjadi pasif dan menindas dirinya sendiri.
Karena saat menggabungkan kekuatan diri dengan kekuatan yang ada pada orang
lain, seseorang merasa tidak mampu hal inilah yang justru memicu seseorang
lebih terdorong pada rasa ketidakberdayaan. Sedangkan sadisme, ada tiga jenis,
yaitu, membuat orang lain tergantung kepada dirinya sendiri sehingga memperoleh
kekuatan dari orang lain yang lebih lemah, mengeksploitasi dan mengambil
keuntungan dari orang lain , dan kecenderungan melihat orang lain sengsara
secara fisik atau psikis. Sadisme merupakan bentuk neorotik yang lebih
berbahaya dibandingkan mesokisme. [21]
2)
Perusakan (destruktiveness),
perusakan berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Perusakan
mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan fisik luar, tetapi
melalui usaha membalas atau merusak kekuatan orang lain.[22]
Apabila usaha individu melakukan perusakan ke luar dihambat oleh keadaan
eksternal, dia mungkin mengambil dirinya sendiri sebagai sasaran perusakan.
Dengan demikian penyakit fisik dan bunuh diri merupakan hasil biasa dari
strategi untuk melarikan diri menjadi manusia bebas.[23]
3)
Penyesuaian (conformity),
bentuk pelarian dari perasaan kesepian dan isolasi berupa penyerahan individu
menjadi seperti yang diinginkan orang lain terhadap diri mereka. Konformis
tidak pernah mengekspresikan opini dirinya, menyerahkan diri kepada standar
tingkahlaku yang diharapkan orang lain, sering tampil diam dan mekanis.[24]
Fromm berpendapat bahwa konformis mengalami keretakan antara perasaan- perasaan
sejati atau dorongan-dorongan spontan dan wajah yang disajikan ke dunia. [25]
d.
Gangguan-gangguan
kepribadian
Apabila
orang-orang yang sehat dapat bekerja, mencintai, dan berpikir secara produktif
maka ciri kepribadian yang tidak sehat ialah tidak mampu menggunakan potensi
mereka dengan sepenuhnya. Fromm berpendapat bahwa orang-orang yang kalut secara
psikologis tidak mampu mencintai, dan gagal membangun kesatuan dengan orang
lain. Fromm mengemukakan tiga gangguan kepribadian yang berat:
1)
Nekrofilia, Fromm
mengemukakan bahwa kepribadian-kepribadian tertentu pada hakikatnya jahat
karena mereka adalah nekrofilus, yang artinya orang-orang yang mencintai
kematian dan keruntuhan. Kepribadian sehat yang berlawanan dengan nekrofilus
disebut biofilus yang artinya pecinta kehidupan dan pertumbuhan. Satu sifat
yang mudah terlihat dari orang nekrofilus ialah perhatiannya terhadap
aspek-aspek yang busuk dan kotor. Ucapan yang dominan dalam kosa katanya ialah
“ ini kotor”, “orang-orang adalah kotor”, dan sebagainya. Kepribadian yang
memiliki kecenderungan nekrofilia membenci umat manusia, membenci suku bangsa
lain, orang-orang yang menggangu orang yang lemah, mereka senang akan
pertumpahan darah, perusakan, terror dan penyiksaan, serta mereka senang
membinasakan hidup. Penyebab nekrofilia kemungkinan dipengaruhi tiga faktor,
pertama faktor genetik, misalnya kerusakan pada jaringan serabut saraf yang
menyebabkan seseorang terhambat dalam ingatan sehingga dunia tetap kacau balau
dan menakutkan. Kedua ibu seorang pengasuh yang dingin, menolak anak atau tidak
konsisten, sehingga anak tidak terikat secara emosional dengan ibu, ayah,
kawan-kawan, serta pada siapapun. Ketiga pengalaman traumatik dalam tahun-tahun
pertama kehidupan anak yang menghambat kebutuhan anak akan kasih sayang dan
keamanan menambah kemarahan dan kebencian yang hebat.[26]
2)
Narsisme
Jahat, orang-orang yang narsistik terlalu memperhatikan diri mereka. Terlalu
memperhatikan diri sendiri menyebabkan hipokondriasis, atau perhatian obsesif
terhadap diri sendiri. Perasaan mereka tentang penghargaan tergantung pada
gambaran diri mereka yang narsistik dan bukan pada prestasi mereka. Apabila
usaha mereka dikritik oleh orang lain, reaksi mereka dengan marah dan mengamuk
dan berusaha membinasakan mereka. Apabila kritikan itu berlebihan dan mungkin
mereka tidak mampu mematahkannya, mereka akan membalikkan kemarahannya pada
diri sendiri sehingga dapat mengakibatkan seseorang itu mengalami depresi. [27]
3)
Simbiosis
sumbang, suatu bentuk yang berlebihan dari ketergantungannya terhadap ibu.
Seorang pria yang sangat bergantung pada ibunya memerlukan wanita yang
memelihara dan mengaguminya. Bila kebutuhannya tidak terpenuhi akan merasa
cemas dan mengalami depresi. [28]
e.
Psikoterapi:
Psikoanalisis Humanistik
Fromm
mengembangkan sistem terapi sendiri, yang dinamakannya psikoanalisis
humanistik. Dibanding dengan psikoanalisis Freud, Fromm lebih peduli dengan
aspek interpersonal dari hubungan teraputik. Menurutnya, tujuan klien dalam
terapi adalah untuk memahami diri sendiri. Fromm juga yakin bahwa klien
mengikuti terapi untuk mencari kepuasan dari kebutuhan dasar kemanusiaannya,
seperti yang sudah dijelaskan ssebelumnya. Karena itu terapi harus dibangun
melalui hubungan pribadi antara terapis dengan kliennya. Komunikasi yang tepat
sangat penting dalam perkembangan teraputik. Klien hendaknya tidak dilihat
sebagai orang yang sakit, tetapi diterima sebagai manusia dengan kebutuhan yang
tidak berbeda dengan terapis.[29]
Dalam
terapinya yang disebut psikoanalisis humanistik Fromm lebih mengutamakan
membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien. Semua klien yang datang
kepada terapis sebaiknya tidak dianggap sebagai manusia yang sakit, mereka semua dianggap
sebagai manusia yang sehat dan mempunyai kebutuhan yang sama dengan terapis.
Hal ini akan mempermudah terapis untuk mengembalikan seseorang sebagai manusia
yang mandiri dan sehat secara mental.
[1] Howard S. Friedman & Miriam W.
Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, Jakarta: Erlangga,
2006, hlm. 2-3
[2] Ibid, hlm. 5
[3] Alwisol, Psikologi Kepribadian,
Malang:UMM Press,2014, hlm.109
[4] Ibid, hlm. 110
[5] Ibid, hlm. 110
[6] Ibid, hlm.
110-111
[7] Ibid, hlm. 111
[8] Ibid, hlm. 112
[9] Ibid, hlm 113
[10] Yustinus Semiun, Teori-teori
Kepribadian Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 195
[11] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, hlm. 121
[12] Yustinus
Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 205
[13] Ibid, hlm. 206-207
[14] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, hlm. 123
[15] Yustinus
Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 209
[16] Ibid, hlm.211
[17] Ibid, hlm.211
[18] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, hlm. 124
[19] Ibid, hlm. 125
[20] Ibid, hlm. 126
[21] Ibid, hlm. 126
[22] Ibid, hlm. 126
[23] Yustinus
Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm.217
[24] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, hlm. 126
[25] Yustinus
Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 219
[26] Yustinus
Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 235-238
[27] Ibid, hlm. 240
[28] Ibid, hlm. 241
[29] Alwisol, Psikologi
Kepribadian, hlm. 130-131
Tidak ada komentar:
Posting Komentar