Kamis, 05 November 2015

Makalah Teori Kepribadian


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Psikolog kepribadian cenderung menghindari pembicaraan filosofis atau religious yang abstrak, dan lebih berfokus pada pikiran, perasaan, dan perilaku nyata manusia. psikologi kepribadian dapat didefinisikan sebagai studi ilmiah yang mempelajari kekuatan-kekuatan psikologis yang membuat masing-masing individu unik. Kepribadian mempunyai delapan aspek, yaitu individu dipengaruhi aspek ketidaksadaran, dipengaruhi kekuatan ego, seseorang adalah makhluk biologis, setiap orang dikondisikan dan dibentuk, setiap orang memiliki sebuah dimensi kognitif-berpikir mengenai dunia di sekitar mereka, individu merupakan suatu kumpulan trait, kemampuan, dan kecenderungan yang spesifik, manusia mempunyai dimensi spiritual dalam hidupnya, dan terakhir hakikat dari seorang individu adalah berinteraksi. [1]
Teori kepribadian itu muncul dari observasi dan intropeksi mendalam dari para pemikir. Selain itu kepribadian juga diperoleh dari penelitian empiris dan sistematis juga melibatkan analogi dan konsep yang diperoleh dari disiplin ilmu lain yang terkait. [2]
Memahami kepribadian seseorang menjadi modal utama seorang konselor dalam membantu konseli menemukan pemecahan masalah yang terdapat dalam dirinya. Setiap manusia di dunia ini memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Makalah ini akan membahas salah satu teori kepribadian, teori-teori kepribadian dikelompokkan menjadi empat paradigma, yaitu paradigma psikoanalisis, paradigma trait, paradigma kognitif, dan paradigma behaviorisme. Dalam makalah ini memfokuskan pada paragdigma psikoanalisis oleh Anna Freud, Erich Fromm, Karen Horney, Harry Stack Sullivan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana paradigma psikologi ego Anna Freud ?
2.      Bagaimana paradigma psikoanalisis humanistik Erich Fromm ?
3.      Bagaimana paradigma psikoanalisis sosial Karen Horney ?
4.      Bagaimana paradigma psikiatri interpersonal Harry Stack Sullivan ?
C.    Tujuan
1.      Mengetahui paradigma psikologi ego Anna Freud
2.      Mengetahui paradigma psikoanalisis humanistik Erich Fromm
3.      Mengetahui paradigma psikoanalisis sosial Karen Horney
4.      Mengetahui psikiatri interpersonal Harry Stack Sullivan





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Anna Freud (Psikologi Ego)
Ketika Freud meninggal, psikoanalisis mulai memusatkan diri pada sifat kekuatan ego dalam membimbing kemampuan manusia. Menurut Anna Freud salah suai atau malajusmen bukan semata-mata hasil pertentangan dari id, ego, dan superego, tetapi neurosis mungkin juga dapat disebabkan oleh hidup yang tidak mempunyai tujuan, ketidakmampuan menciptakan harmoni antara diri dengan lingkungan sosialnya.[3] Penyakit kejiwaan yang terjadi dalam pribadi seseorang itu tidak hanya muncul dari id, ego, atau superego. Hal itu bisa muncul dikarenakan oleh ketidakmampuan seseorang menciptakan harmoni atau hubungan yang baik antara dirinya dengan lingkungan sosialnya. Anna lebih tertarik meneliti tentang ego, sehingga muncul teori pengembangan dari psikoanalisis yang disebut psikologi ego.  Teorinya dapat diringkas dalam tiga konsep pokok, sebagai berikut:
a.       Psikoterapi Anak
1)      Terapi Gabungan: kekaguman dan kepercayaan
Teknik psikoanalis seperti asosiasi bebas, interprestasi mimpi, dan analisis transferensi tidak dapat diterapkan begitu saja kepada anak. Prosedurnya harus digabungkan dengan teknik yang lebih langsung, agar dapat langsung membantu anak berjuang untuk tumbuh, masak, berubah dan menguasai realitas di dalam dan di luar dirinya. Anna freud menggabungkan kekaguman dan kepercayaan untuk membantu anak dalam melawan serangan dunia luar yang tidak terfahami.[4] Maksudnya Anna Freud mempercayakan kepada kemampuan anak untuk beradaptasi langsung dengan lingkungan sosialnya agar anak mampu belajar  
2)      Melampaui Konflik Struktural: Bahaya perkembangan
Kelenturan anak dan perkembangan menuju kemasakan yang berkelanjutan, memaksa analis anak memfokuskan diri bukan pada symptom neorotik yang tampak sekarang, tetapi lebih kepada tujuan agar berfungsi sehat pada masa yang akan datang. Gangguan perkembangan, ancaman kemasakan berkelanjutan, fisik maupun psikis, harus banyak diperhatikan.  Anna Freud mengembangkan sistem diagnosis yang mementingkan pembentukan kepribadian dalam tahap perkembangan.[5] Menurutnya pembentukan kepribadian anak itu dalam masa perkembangannya, tidak hanya memfokuskan pada penyakit kejiwaan yang dialami oleh anak pada saat ini, tetapi lebih diutamakan untuk membantu anak mampu mengatasi gangguan perkembangan di masa-masa yang akan datang dalam kehidupan di masa depan.
3)      Asesmen Metapsikologis
Anna mengemukakan dengan memakai profil assesmen metapsikologis dapat diperoleh tiga keuntungan. Pertama, memberi arahan yang kongkrit dan seragam, data apa saja yang harus diungkap dari klien. Kedua, mengintegrasikan hasil observasi dengan data sejarah kehidupan klien menjadi gambaran yang utuh bagaimana kepribadian anak berfungsi dan berkembang. Ketiga, memakai konsep-konsep psikoanalisis dan mengintegrasikan teori-teori yang ada untuk memperoleh peta psikologis. [6]
4)      Pentingnya Realistas Sosial
Anak lebih tergantung dan lebih mudah dipengaruhi oleh realitas eksternal saat itu. Psikoanalisis anak harus siap menerima proposi bahwa ketergantungan kliennya kepada orang tua, konflik klien dengan saudara, hubungannya dengan guru, dan otoritas lain yang terjadi saat itu. Gangguan neurotik pada orang dewasa umumnya bersifat internal dan sumbernya pada masa lalu, berbeda dengan anak bahwa suatu simptom bisa disebabkan oleh peristiwa yang baru saja terjadi. [7] Kondisi anak berbeda dengan orang dewasa, anak lebih mudah dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sosialnya, gangguan kejiwaan pada anak bisa saja terjadi karena peristiwa yang terjadi saat itu juga, tidak terpaku oleh masa lalunya.
b.      Garis Perkembangan (Developmental Lines)
Dimulai dari dominasi id untuk memperoleh kepuasan, secara bertahap akan bergeser ke ego, untuk pada akhirnya ego dapat menguasai realitas internal maupun eksternal. Interaksi oleh Anna Freud disebut garis perkembangan, suatu urutan tahap-tahap kematangan anak dari ketergantungan menjadi pribadi yang mandiri.[8] Anna Freud mengemukakan enam garis perkembangan, yaitu dari ketergantungan menjadi percaya diri, dari mengisap menjadi makan makanan keras, dari ngompol dan ngobrok menjadi dapat mengontrol urinasi/ defakasi, dari tidak bertanggung jawab menjadi bertanggung jawab mengatur tubuh, dari egosentrik menjadi kerjasama dan dari tubuh menjadi mainan, dan dari bermain menjadi bekerja. [9]
c.       Mekanisme Pertahanan
Anna Freud memperluas defense mechanism. Anna Freud menambahkan dengan repression, isolation, ascetism, denial, sublimation, undoing, introjection, reversal, turning, againt the self sublimation/displacement.
2.      Erich Fromm
a.       Gambaran Umum Errich Fromm
Errich Fromm lahir pada tanggal 23 Maret 1990 di Frankfrut, Jerman. Setelah dilatih dalam psikoanalisis Freudian dan dipengaruhi oleh Karl Marx, Karen Horney dan para teoretikus, Errich Fromm mengembangkan suatu teori kepribadian yang menenkankan pengaruh dari faktor dari dalam pikiran, sosiologis, sejarah, ekonomi, dan struktur kelas. Psikoanalisis Humanistiknya mengasumsikan bahwa kecemasan dasar atau perasaan kesepian dan isolasi disebabkan oleh terpisahnya manusia dari dunia alam. Pandangan Errich Fromm tentang kodrat manusia dibentuk oleh pengalaman masa kanak-kanak. [10]
Fromm memilih nama teorinya “ humanistik dialektik”, karena yang ingin dia tunjukkan adalah perhatiannya terhadap perjuangan manusia yang tidak pernah menyerah untuk memperoleh martabat dan kebebasan, dalam kaitannya dengan kebutuhan manusia untuk berhubungan dengan orang lain. [11]
b.      Kebutuhan Manusia
Fromm berpendapat bahwa satu perbedaan penting antara orang-orang bermental sehat dan yang neorotik (tidak sehat) ialah orang-orang yang sehat menemukan jawaban yang benar-benar lebih cocok dengan kebutuhan manusia. Fromm telah menetapkan lima kebutuhan eksistensial yang khas manusia, yaitu: keterhubungan (relatedness), keterberakaran (rootedness), transedensi, perasaan identitas, kerangka orientasi.[12]
1)      Kebutuhan akan Keterhubungan (relatedness), dorongan untuk bersatu dengan orang lain. Untuk mengatasi perasaan kesendirian dan isolasi dari alam dan dari diri sendiri, manusia perlu mencintai, memperhatikan orang lain. Pendapat Fromm bahwa cinta merupakan satu-satunya jalan seseorang dapat bersatu dengan dunia. Dia mendefinisikan cinta sebagai suatu kesatuan dengan seseorang di luar dirinya sendiri dalam kondisi mempertahankan pemisahan dan integritas dirinya sendiri. Untuk mencintai orang lain, seseorang harus memelihara orang itu dan rela mengurusinya. [13] Dengan kata lain, bahwa seseorang akan mampu memuaskan kebutuhan akan keterhubungan dengan cara mencintai orang lain.
2)      Kebutuhan akan Keterberakaran (rootedness), kebutuhan untuk memiliki ikatan yang membuatnya merasa kerasan di dunia (merasa seperti di rumahnya). Manusia menjadi asing dengan dunianya karena dua alasan. Pertama, dia direnggut dari akar-akar hubungannya dengan situasi (ketika manusia dilahirkan, dia menjadi sendirian dan kehilangan ikatan alamiah). Kedua, fikiran dan kebebasan yang dikembangkannya sendiri justru memutus ikatan alami dan menimbulkan perasaan isolasi/ tak berdaya.[14] Artinya manusia yang terlahir di dunia akan terpisah menjadi manusia yang mandiri, tidak lagi bergantung dengan ibunya seperti pada masa dalam kandungan. Manusia membutuhkan rasa aman agar merasa betah dengan dunia yang ada dihadapannya saat ini dan yang akan datang. Karena manusia sepanjang hidupnya membutuhkan rasa aman seperti yang dirasakannya di dalam kandungan ibunya.
3)      Kebutuhan akan Transedensi, yaitu dorongan untuk mengatasi peran ciptaan, eksistensi yang aksidental dan pasif dengan menjadikan diri sebagai pencipta. Karena individu menyadari dirinya dan dunianya maka dia sekali-sekali mengakui bahwa alam semesta yang luas betapa menyeramkan dan menakutkan. Dengan demikian dia bisa dengan mudah dikalahkan karena dia sendiri sadar akan ketidakberdayaan dan kelemahannya. Setiap orang harus mengalahkan ketakutan dan keraguannya sendiri dalam berhadapan dengan alam semesta. Transedensi dapat dikejar dengan cara produktif dan tidak produktif. Dengan cara produktif, manusia mampu menjadi kreatif, dapat menciptakan kesenian, agama, ide-ide, hokum-hukum, barang material dan cinta. Tetapi daripada itu manusia juga bisa melebihi kehidupan dengan membinasakan. Fromm mengemukakan manusia bisa menggunakan agresi yang jahat, yaitu membunuh tidak hanya sekedar untuk mempertahankan hidup. Hal ini tidak berlaku untuk semua manusia, hanya beberapa orang dan kebudayaan. [15]
4)      Kebutuhan akan Perasaan Identitas, kapasitas untuk menyadari bahwa manusia sebagai pribadi yang mengontrol nasibnya sendiri, mengambil keputusan, dan merasakan bahwa hidupnya adalah miliknya sendiri. Orang-orang yang sehat memilki perasann identitas yang otentik.[16]
5)      Kebutuhan akan Kerangka Orientasi, karena mnausia tidak terlepas dari alam maka membutuhkan peta jalan, suatu kerangka orientasi untuk melapangkan jalan di seluruh dunia. [17] Kerangka orientasi adalah seperangkat keyakinan mengenai eksistensi hidup, perjalanan hidup, tingkah laku bagaimana yang harus dikerjakannya, yang mutlak dibutuhkan untuk memperoleh kesehatan jiwa.[18]
c.       Mekanisme Pelarian Diri dari Kebebasan
Menurut Fromm, ciri orang yang normal atau yang mentalnya sehat adalah orang yang mampu bekerja produktif sesuai dengan tuntutan lingkungan sosialnya, sekaligus mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial yang penuh cinta.
Terdapat dua cara untuk memperoleh makna dan kebersamaan dalam hidup. Pertama, berusaha menyatu dnegan orang lain, melalui pendekatan optimistik dan altruistic, yaitu menghubungkan diri dengan orang lain melalui kerja dan cinta.  Melalui ekspresi perasaan dan kemampuan intelektual yang tulus dan terbuka. Fromm menyebut pendekatan humanistik, yang membuat orang tidak merasa kesepian dan tertekan, karena semua menjadi saudara dari yang lain. Kedua, dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan individualitas dan integritas diri kepada orang lain atau lembaga.[19]
Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain oleh Fromm disebut mekanisme pelarian, ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting, yaitu:
1)      Otoritarisme, kecenderungan untuk menyerahkan kemandirian diri dan menggabungkannya dengan seseorang atau sesuatu di luar dirinya. Kebutuhan untuk menggabungkan kekuatan tersebut ada dua cara, yaitu masokisme dan sadisme. Masokisme disebabkan oleh perasaan yang tidak berdaya, lemah, dan inferior yang dibawa saat menggabungkan diri dengan orang lain.[20] Akibatnya disini seseorang akan menjadi pasif dan menindas dirinya sendiri. Karena saat menggabungkan kekuatan diri dengan kekuatan yang ada pada orang lain, seseorang merasa tidak mampu hal inilah yang justru memicu seseorang lebih terdorong pada rasa ketidakberdayaan. Sedangkan sadisme, ada tiga jenis, yaitu, membuat orang lain tergantung kepada dirinya sendiri sehingga memperoleh kekuatan dari orang lain yang lebih lemah, mengeksploitasi dan mengambil keuntungan dari orang lain , dan kecenderungan melihat orang lain sengsara secara fisik atau psikis. Sadisme merupakan bentuk neorotik yang lebih berbahaya dibandingkan mesokisme. [21]
2)      Perusakan (destruktiveness), perusakan berakar pada perasaan kesepian, isolasi, dan tak berdaya. Perusakan mencari kekuatan tidak melalui membangun hubungan dengan fisik luar, tetapi melalui usaha membalas atau merusak kekuatan orang lain.[22] Apabila usaha individu melakukan perusakan ke luar dihambat oleh keadaan eksternal, dia mungkin mengambil dirinya sendiri sebagai sasaran perusakan. Dengan demikian penyakit fisik dan bunuh diri merupakan hasil biasa dari strategi untuk melarikan diri menjadi manusia bebas.[23]
3)      Penyesuaian (conformity), bentuk pelarian dari perasaan kesepian dan isolasi berupa penyerahan individu menjadi seperti yang diinginkan orang lain terhadap diri mereka. Konformis tidak pernah mengekspresikan opini dirinya, menyerahkan diri kepada standar tingkahlaku yang diharapkan orang lain, sering tampil diam dan mekanis.[24] Fromm berpendapat bahwa konformis mengalami keretakan antara perasaan- perasaan sejati atau dorongan-dorongan spontan dan wajah yang disajikan ke dunia. [25]
d.      Gangguan-gangguan kepribadian
Apabila orang-orang yang sehat dapat bekerja, mencintai, dan berpikir secara produktif maka ciri kepribadian yang tidak sehat ialah tidak mampu menggunakan potensi mereka dengan sepenuhnya. Fromm berpendapat bahwa orang-orang yang kalut secara psikologis tidak mampu mencintai, dan gagal membangun kesatuan dengan orang lain. Fromm mengemukakan tiga gangguan kepribadian yang berat:
1)      Nekrofilia, Fromm mengemukakan bahwa kepribadian-kepribadian tertentu pada hakikatnya jahat karena mereka adalah nekrofilus, yang artinya orang-orang yang mencintai kematian dan keruntuhan. Kepribadian sehat yang berlawanan dengan nekrofilus disebut biofilus yang artinya pecinta kehidupan dan pertumbuhan. Satu sifat yang mudah terlihat dari orang nekrofilus ialah perhatiannya terhadap aspek-aspek yang busuk dan kotor. Ucapan yang dominan dalam kosa katanya ialah “ ini kotor”, “orang-orang adalah kotor”, dan sebagainya. Kepribadian yang memiliki kecenderungan nekrofilia membenci umat manusia, membenci suku bangsa lain, orang-orang yang menggangu orang yang lemah, mereka senang akan pertumpahan darah, perusakan, terror dan penyiksaan, serta mereka senang membinasakan hidup. Penyebab nekrofilia kemungkinan dipengaruhi tiga faktor, pertama faktor genetik, misalnya kerusakan pada jaringan serabut saraf yang menyebabkan seseorang terhambat dalam ingatan sehingga dunia tetap kacau balau dan menakutkan. Kedua ibu seorang pengasuh yang dingin, menolak anak atau tidak konsisten, sehingga anak tidak terikat secara emosional dengan ibu, ayah, kawan-kawan, serta pada siapapun. Ketiga pengalaman traumatik dalam tahun-tahun pertama kehidupan anak yang menghambat kebutuhan anak akan kasih sayang dan keamanan menambah kemarahan dan kebencian yang hebat.[26]
2)      Narsisme Jahat, orang-orang yang narsistik terlalu memperhatikan diri mereka. Terlalu memperhatikan diri sendiri menyebabkan hipokondriasis, atau perhatian obsesif terhadap diri sendiri. Perasaan mereka tentang penghargaan tergantung pada gambaran diri mereka yang narsistik dan bukan pada prestasi mereka. Apabila usaha mereka dikritik oleh orang lain, reaksi mereka dengan marah dan mengamuk dan berusaha membinasakan mereka. Apabila kritikan itu berlebihan dan mungkin mereka tidak mampu mematahkannya, mereka akan membalikkan kemarahannya pada diri sendiri sehingga dapat mengakibatkan seseorang itu mengalami depresi. [27]
3)      Simbiosis sumbang, suatu bentuk yang berlebihan dari ketergantungannya terhadap ibu. Seorang pria yang sangat bergantung pada ibunya memerlukan wanita yang memelihara dan mengaguminya. Bila kebutuhannya tidak terpenuhi akan merasa cemas dan mengalami depresi. [28]
e.       Psikoterapi: Psikoanalisis Humanistik
Fromm mengembangkan sistem terapi sendiri, yang dinamakannya psikoanalisis humanistik. Dibanding dengan psikoanalisis Freud, Fromm lebih peduli dengan aspek interpersonal dari hubungan teraputik. Menurutnya, tujuan klien dalam terapi adalah untuk memahami diri sendiri. Fromm juga yakin bahwa klien mengikuti terapi untuk mencari kepuasan dari kebutuhan dasar kemanusiaannya, seperti yang sudah dijelaskan ssebelumnya. Karena itu terapi harus dibangun melalui hubungan pribadi antara terapis dengan kliennya. Komunikasi yang tepat sangat penting dalam perkembangan teraputik. Klien hendaknya tidak dilihat sebagai orang yang sakit, tetapi diterima sebagai manusia dengan kebutuhan yang tidak berbeda dengan terapis.[29]
Dalam terapinya yang disebut psikoanalisis humanistik Fromm lebih mengutamakan membangun hubungan yang baik antara terapis dan klien. Semua klien yang datang kepada terapis sebaiknya tidak dianggap sebagai  manusia yang sakit, mereka semua dianggap sebagai manusia yang sehat dan mempunyai kebutuhan yang sama dengan terapis. Hal ini akan mempermudah terapis untuk mengembalikan seseorang sebagai manusia yang mandiri dan sehat secara mental.


[1] Howard S. Friedman & Miriam W. Schustack, Kepribadian Teori Klasik dan Riset Modern, Jakarta: Erlangga, 2006, hlm. 2-3
[2] Ibid, hlm. 5
[3] Alwisol, Psikologi Kepribadian, Malang:UMM Press,2014, hlm.109
[4] Ibid, hlm. 110
[5] Ibid, hlm. 110
[6] Ibid, hlm. 110-111
[7] Ibid, hlm. 111
[8] Ibid, hlm. 112
[9] Ibid, hlm 113
[10] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, Yogyakarta: Kanisius, 2013, hlm. 195
[11] Alwisol, Psikologi Kepribadian, hlm. 121
[12] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 205
[13] Ibid, hlm. 206-207
[14] Alwisol, Psikologi Kepribadian, hlm. 123
[15] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 209
[16] Ibid, hlm.211
[17] Ibid, hlm.211
[18] Alwisol, Psikologi Kepribadian, hlm. 124
[19] Ibid, hlm. 125
[20] Ibid, hlm. 126

[21] Ibid, hlm. 126
[22] Ibid, hlm. 126
[23] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm.217
[24] Alwisol, Psikologi Kepribadian, hlm. 126
[25] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 219
[26] Yustinus Semiun, Teori-teori Kepribadian Jilid 2, hlm. 235-238
[27] Ibid, hlm. 240
[28] Ibid, hlm. 241
[29] Alwisol, Psikologi Kepribadian, hlm. 130-131

Tidak ada komentar:

Posting Komentar