Kamis, 05 November 2015

Makalah Teori dan Pendekatan Konseling


BAB 1
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan, manusia seringkali dihadapkan pada banyak hal. Banyak persoalan hidup yang seringkali menjadi batu sandung manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal yang demikian perlu bagi manusia menggunakan kekuatan dan kesabaran serta aksi antisipasi dalam hidup. Terlebih dalam diri manusia ada banyak potensi positif untuk meningkatkan kualitas dirinya.
Namun, kenyataanya masalah demi masalah yang menjadi aral hidup manusia seringkali mendamparkan manusia pada kenyataan yang menyakitkan. Banyak dari mereka merasa hidupnya tidak berarti, dunia seolah sempit dan merasa hidupnya tak seberuntung orang lain. Padahal sebenarnya manusia sendiri adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan dan keistimewaan melebihi dari makhluk Tuhan yang lain.
Dengan demikian perlu kiranya manusia tahu dan belajar mengenai present-centered. Sebab dalam teori ini, akan ditemukan beberapa praktek konseli dan konselor yang menstimulus atau melibatkan konseli langsung. Karena sebenarnya dalam diri manusia  ada potensi positif yang baik untuk dikembangkan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian pendekatan person-centered ?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan pendekatan person-centered ?
3.      Bagaimana pandangan tentang manusia menurut pendekatan person-centered ?
4.      Bagaimana konsep dasar pendekatan person-centered ?
5.      Bagaimana proses konseling menurut pendekatan person-centered ?
6.      Apa tujuan konseling dari pendekatan person-centered ?
7.      Bagaimana peran dan fungsi konselor dalam pendekatan person-centered ?
8.      Bagaimana tahap-tahap konseling yang dilakukan oleh pendekatan person-centered ?
9.      Apa saja teknik-teknik konseling yang digunakan oleh pendekatan person-centered ?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian pendekatan person-centered
2.      Untuk mengetahui  sejarah perkembangan pendekatan person-centered
3.      Untuk mengetahui pandangan tentang manusia menurut pendekatan person-centered
4.      Untuk mengetahui konsep dasar pendekatan person-centered
5.      Untuk mengetahui proses konseling menurut pendekatan person-centered
6.      Untuk mengetahui tujuan konseling dari pendekatan person-centered
7.      Untuk mengetahui  peran dan fungsi konselor dalam pendekatan person-centered
8.      Untuk mengetahi tahap-tahap konseling yang dilakukan oleh pendekatan person-centered
9.      Untuk mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan oleh pendekatan person-centered






















BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Pendekatan Person Centered
Pendekatan konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu konseli memenuhi potensi unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Rogers mencoba untuk membebaskan orang dari pengaruh orangtua pada zamannya yang menguasai pikiran, perasaan, dan tindakan anak-anaknya.[1]
Penjelasan di atas dapat dipahami bahwa personal centered adalah salah satu model pendekatan yang membantu bagaimana mengfungsikan potensi positif yang ada pada diri manusia yang memang pada hakikatnya manusia memiliki  potensi positif untuk mengatasi masalahnya, membentuk kesadaran-kesadaran dan membuat kepuutusan-keputusan. Dengan demikian teori ini sepenuhnya diserahkan pada kesanggupan diri seorang konseli.
Pada pendekatan ini dapat ditemukan beberapa ciri yang membedakan dengan pendekatan lain bahwa konseli sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya. Terapi client-centered memasukkan konsep bahwa fungsi konselor adalah tampil langsung dan bisa dijangkau oleh konseli serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini dan sekarang yang tercipta melalui hubungan antara konseli dan konselor.[2]
Ciri yang paling khas dari pendekatan ini terletak pada peran aktif konseli dalam proses konseling. Seorang konselor bertugas memberikan fasilitas kepada konseli dalam menemukan sendiri cara yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada diri konseli yang terjadi saat ini dan selanjutnya.
2.      Sejarah
Pendekatan person-centered dikembangkan oleh Dr. Carl Rogers (1902-1987) pada tahun 1940-an. Pada awal perkembangannya Carl Rogers menamakan non directive counseling, pada tahun 1951 Rogers mengganti nama pendekatan non-direktif menjadi client-centered. Rogers mengembangkan aplikasi pendekatan ini pada area yang lebih luas dan menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti, konseling pasangan dan keluarga, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta dalam hubungan internasional. Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh pendekatan, yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan kekuasaan dan control atas orang lain dan atas dirinya, maka pendekatan ini lebih dikenal sebagai pendekatan yang berpusat pada manusia (person-centered).[3]
3.      Pandangan Tentang Manusia
Pendekatan person-centered memiliki keyakinan bahwa individu pada dasarnya baik. Setiap manusia memiliki dorongan dari dalam (inner directed) untuk mengembangkan strategi yang membuat dirinya berfungsi penuh. Pendekatan ini juga memandang manusia sebagai insan rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang.[4]
Beberapa pendekatan beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki potensi merusak terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Namun Rogers manaruh kepercayaan penuh terhadap potensi baik manusia dalam mengembangkan dirinya, berjuang untuk menfungsikan secara sepenuhnya bahwa dalam diri manusia memiliki banyak potensi positif.
Pandangan yang seperti ini memiliki peranan implikatif terhadap praktik client-centered.  Sebab berkat pandangan filosofis bahwa individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjstment menuju keadaan psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab utamanya bagi proses terapi pada konseli. Dengan demikian terapi person-centered mengekarkan sejauh mana konseli sanggup merubah diri, membentuk kesadaran dan membuat keputusan keputusan[5]
Berdasarkan pandangan tersebut, dapat terlihat bahwa tugas konselor bukan lagi membantu konseli menemukan alternative pemecahan masalah yang dihadapi. Pandangan tersebut meyakini bahwa masing-masing individu mempunyai potensi diri untuk mampu keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, sedangkan tugas konselor disini mengawasi sejauh mana kemampuan konseli tersebut untuk merubah dirinya dalam keadaan yang lebih baik. Kemudian jika terdapat kejanggalan dalam usaha konseli, barulah konselor meluruskannya.
4.      Konsep Dasar
Pendekatan person-centered dibangun atas dua hipotesis dasar, yaitu (1) setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami keadaan yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya menjadi lebih baik, (2) kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat terjadi dan ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan dapat memahami relasi (proses konseling) yang sedang dibangun. Rogers mengemukakan konsep kepribadian yang terdiri dari tiga aspek, yaitu:
·         Organism, merupakan individu itu sendiri
·         Phenomenal Field, pengalaman-pengalaman hidup yang bermakna
·         Self, interaksi antara organism dan phenomenal field.[6]
Self disebeut juga stuktur self atau self concept, merupakan persepsi dan nilai individu tentang dirinya atau hal-hal yang berhubungan dengan orang lain. Self meliputi dua hal, yaitu real self merupakan gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata, dan ideal self merupakan apa yang menjadi kesukaan, harapan atau yang idealisasi tentang dirinya. Pengertian phenomenal field merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Sedangkan pengertian organism merupakan keseluruhan totalitas individu, meliputi pemikiran, perilaku, dan keadaan fisik.[7]
Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa konsep kepribadian manusia itu memiliki tigas aspek, organism adalah bentuk fisik maupun psikologis dari seseorang, phenomenal field adalah bentuk pengalaman yang dialami oleh seseorang semasa hidupnya baik berupa pengetahuan, pengasuhan orang tua ataupun hubungan sosial. Sedangkan self merupakan perpaduan antara keduanya, dalam arti seorang pribadi yang memilki pengalaman yang bermakna.
Pendapat lain mengemukakan tentang keyakinan dasar martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia. Keyakinan tersebut sebagian bersifat falsafah dan sebagian lain bersifat psikologis, sebagai berikut:
·         Setiap manusia berhak mempunyai pandangan dan berhak menentukan haluan hidupnya sendiri, serta bebas mengejar kepentingannya selama tidak melanggar hak-hak orang lain.
·         Manusia pada dasarnya berakhlak baik, dapat diandalkan, dan dapat diberi kepercayaan.
·         Manusia memiliki kemampuan, dorongan serta kecenderungan yang disebut actualizing tendency. Dapat membawa diri dalam masyarakat, serta merealisasikan segala potensi yang dimiliki, dan berhasil hidup secara mandiri.
·         Cara berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap keadaan hidup yang dihadapinya, selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri dan keadaan yang dihadapi.
·         Seseorang akan menghadapi persoalan jika di antara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri sendiri timbul konflik dan pertentangan, siapa saya ini sebenarnya (real self) dan saya seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self).[8]
5.      Proses Konseling
Menurut Rogers komponen yang digunakan konselor dalam proses konseling, seperti kemampuan mendengar aktif (active listening), genuineness, dan paraprashing. Point penting dalam pendekatan ini adalah konseli telah memiliki jawaban atas permasalahan yang dihadapinya, konselor berperan dalam mendengarkan tanpa memberi penilaian, tanpa mengarahkan, dan membantu konseli untuk merasa diterima dan dapat memahami realitas perasaannya sendiri.[9]
Salah satu frasa yang digunakan untuk mendeskripsikan terapi Rogers, yaitu menggunakan analogi belajar sepeda. Ketika anda membantu seorang anak belajar naik sepeda, anda tidak boleh hanya memberitahu bagaimana cara naik sepeda. Sebagai pelatih anda tidak bisa menjaganya terus menerus. Ada waktunya anda membiarkan mereka jalan sendiri. Sama halnya dengan terapi, jika dengan kebebasan dan tanggung jawab dapat membantu konseli mencapai aktualisasi diri, maka mereka tidak akan mencapai hal tersebut jika tetap bergantung pada konselor. Mereka perlu mencobanya sendiri dalam kehidupan nyata. [10]
6.      Tujuan Konseling
Konseling person-centered bertujuan membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat komunikasi konseling, dimana konselor mendudukkan konseli sebagai orang yang berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan penerimaan tanpa syarat. Tujuan utama pendekatan person-centered adalah pencapaian kemandirian dan integrasi diri. [11]
Jadi menurut tujuannya sebenarnya konselor berperan membantu konseli dalam menemukan jati diri konseli. Teori ini menjadi  urgen karena dengan pendekatan ini seorang konseli kembali menemukan kesadaran bahwa dirinya memiliki potensi positif dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kebanyakan terapi person-centered memfokuskan pada membantu konseli agar lebih dekat dengan perasaan dan proses organismic valuing-nya atau kecenderungan mengaktualisasikan. Terdapat enam dimensi tentang tujuan-tujuan dalam tulisan Rogers, yaitu:
·         Keterbukaan terhadap pengalaman: memungkinkan orang untuk terlibat dalam proses kehidupan eksistensial, dimana mereka hidup, mampu menangani perubahan, dan waspada terhadap rentang pilihan mereka untuk menciptakan kehidupan.
·         Rasionalitas: jika orang dekat dengan organismic experiencing-nya, pengalamannya cenderung rasional dalam kaitannya dengan mempertahankan dan meningkatkan organismenya.
·         Tanggung Jawab Pribadi: Rogers mempercayakan individu menerima tanggung jawab atas perilakunya, dan menerima tanggung jawab untuk berbeda dengan orang lain.
·         Self-Regard (penghargaan diri): orang-orang dengan self regard tanpa syarat yang tinggi akan menghargai dirinya, walaupun tidak pada semua perilaku.
·         Kapasitas hubungan pribadi yang baik: menerima orang lain sebagai individu yang unik, menghargai orang lain, berhubungan dengan terbuka dan bebas.
·         Etika hidup: dalam hubungan sosial dengan masyarakat yang berfungsi dengan baik setidaknya dalam dua cara, (1) mampu mengidentifikasi diri secara luas dan (2) mampu membedakan dengan tegas antara tujuan dan sarana, dan antara baik dan buruk.[12]
7.      Peran dan Fungsi Konselor
Dalam proses konseling ini, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti, yaitu, kongruen (congruence) atau keaslian, penerimaan tanpa syarat (unconditional positive regard and acceptance) dan pemahaman yang empatik dan akurat (accurate empathic understanding).
      Pertama, kongruen berarti bahwa konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli, terintegrasi dan otentik. Keaslian konselor dapat terlihat melalui respons konselor yang muncul secara alamiah, asli, dan tidak dibuat-buat, sehingga tidak berlebihan.[13] Menurut pendapat lain mengatakan bahwa kongruensi maksudnya adalah realness, kejujuran atau tidak berpura-pura, keterbukaan, dan presence (kesadaran).[14]
Konselor perlu memiliki koneksi dengan perasaan-perasaan yang mereka alami, sehingga ibarat pasien,  konseling benar-benar  merasa bertemu denga dokternya. Konselor seyogyanya menjalin hubungan secara langsung dan menghindari penempatan konseli sebagai objek. Konselor yang kongruen tidak sedang memainkan peran apapun, mencoba sesopan mungkin, dan tampak professional.
 Kedua, unconditional positive regard berarti bahwa konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara mendalam dan jujur sebagai pribadi. Sedangkan acceptance adalah menunjukkan penghargaan yang spontan terhadap konseli. Penelitian Rogers mengindikasikan bahwa semakin besar derajat perhatian (caring), pemberian (prizing), penerimaan, dan penghargaan terhadap konseli dengan cara yang tidak posesif, akan semakin besar pula kesempatan untuk mencapai kesuksesan konseling.[15]
Pada langkah kedua ini konselor dituntut bekerja tanpa tendensi. Ia bekerja sepenuh hati tanpa mengharap apapun. Barometer keberhasilan konselor dalam membantu konseli adalah ketika mampu memberi kesempatan tidak secara menekan maka ia akan melihat hasil perkembangan dan keberhasilan konseli dalam menyelesaikan masalahnya. Dalam konteks ini konselor hanya dituntut melayani sepenuh hati seolah hanya memberikan ruang tanpa tekanan dan ketentuan-ketentuan terhadap konseli. Sehingga secara otomatis konseli merasa nyaman dan sekan menemukan jalannya.
Ketiga, Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor untuk memahami permasalahan konseli, peka terhadap perasaan konseli sehingga konselor mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Kemungkinan konseli akan menemukan beberapa aspek yang tersembunyi tentang dirinya sendiri yang sebelumnya tidak disadari. [16]
Selain harus memiliki kemampuan di atas, konselor juga dituntut untuk ikut lebur merasakan apa yang dirasakan oleh konseli seolah masalah itu juga menimpa dirinya. Empati dan ketulusan tersebut lambat laun akan membentuk kesadaran konseli sehingga ia mampu menemukan jati dirinya yang selama ini tidak ia temukan.


8.      Tahap-tahap Konseling
Kondisi konseling dalam pendekatan ini dapat terlihat pada proses konseling antara konselor dengan konseli harus ada kontak psikologis (terbangun hubungan interpersonal). Baik konselor maupun konseli sama-sama memahami pengalamannya sebagai sebuah relasi. Konseli berada dalam keadaan tidak seimbang, yaitu mengalami ketidaksesuaian antara persepsi diri (ideal self) dengan pengalaman nyata (real self). Disini konseli mencoba mengatasi masalahnya, namun belum berhasil. Sedangkan konselor dalam keadaan yang seimbang, terbuka terhadap perasaan dan pengalamannya terhadap konseli. Kondisi ini yang dinamakan unconditional positive regard, dimana konselor membuka diri tentang perasaan dan pengalamannya tanpa konseli memintanya. Kemudian konselor dapat menghargai konseli sebagai pribadi yang unik yang mungkin memiliki nilai, pandangan hidup, atau pengalaman yang berbeda dengannya. Sikap hangat, positif, dan penerimaan dari konselor dapat mendorong konseli untuk menerima dirinya. Selanjutnya konselor menunjukkan sikap empati terhadap konseli. Jika kondisi ini mampu dirasakan oleh konseli, maka konseli akan menjadi lebih positif dan menemukan konsep dirinya. [17]
Ketika seorang mengalami ketidak seimbangan pada dirinya, tenntu ia mengalami hal hal yang  tidak semestinya terjadi. Dengan demikian insiatif untuk menghilangkan hal tersebut muncul. Sehingga ia mendatangi seorang konselor. Maka pada saat itu konselor berperan membuka diri, memberi ruang dan penghargaan sehingga konseli sekan menemukan jalan dan alternatif. Contoh kasus dalam pendektan ini terjadi pada seorang anak yang salah masuk jurusan karena hanya menuruti keinginan orang tuanya. “kamu memang anak yang baik, pintar dan membanggakan. Mama senang akhirnya kamu pilih jurusan IPA” (padahal potensi dan perolehan nilai pada rumpun mata pelajaran IPA hanya cukup). Oleh karenanya saat berada dalam pengalaman nyata (phonomenal field), ia menemukan ternyata persepsi dirinya (ideal self) yang berbentuk (anak baik, pintar dan membanggakan) tidak sesuai dengan realitas (real self) karena potensi yang dimiliki tidak mendukung untuk ia berada di jurusan IPA, yang pada akhirnya anak mengalami hambatan dalam mengikuti proses belajar. Jadi, masalah yang dialami seorang timbul karena adanya ketidaksesuaian (incongruence) antara persepsi diri (ideal self) dengan realitas (real self).[18]
9.      Teknik-teknik Konseling
Menurut corey, dalam  hal ini konselor harus memiliki dan memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam proses konseling.[19]
a.       Mendengar aktif (active listening)
Yaitu memperlihatkan perkataan konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucapkan, intonasi dan bahasa tubuh konseli.
b.      Mengulang kembali (restating/praphasing)
Mengulang perkataan konseli dengan kalimat yang berbeda. Artinya konselor mengatakan kembali inti ungkapan konseli.
c.       Memperjelas (clarifying)
Adalah merespon pernyakataan konseli atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas, dengan memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan dan memperjelas`perasaan-perasaannya yang bertolak belakang.
d.      Menyimpulkan (summarizing)
Merupakan keterampilan konselor untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau bagian sesi konseling. Kemampuan ini sangat dibutuhkan pada saat proses transisi dari satu topik ke topik lainnya.
e.       Bertanya (questioning)
Teknik ini bertujuan untuk menggali informasi yang lebih dalam dari konseli. Dalam bertanya terdapat dua jenis pertanyaan.  Yaitu, pertanyaan tertutup yang hanya memberi peluang jawaban iya atau tidak dan pertanyaan terbuka dengna mengguanakan kata tanya seperti: apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana.
f.       Menginterpretasi (interpreting)
Kemampuan konselor dalam menginterprestasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku konseli. 

g.      Mengkonfrontasi (contfronting)
Merupakan cara yang kuat untuk menantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur. Artinya konselor mendorong konseli untuk meneliti kembali dirnya secara jujur baik dari perkataan atau perbuatan.
h.      Mereflesikan perasaan (reflecting feelings)
Kemampuan untuk merespon terhadap esensi perkataan konseli. Merefleksikan perasaan bukan sekedar memantulkan perasaan konseli tapi termasuk ekspresinya.
i.        Memberikan dukungan (supporting)
Konselor memberikan dukungan dan perhatian penuh kepada konseli dengan cara mendengar aktif terhadap apa yang konseli keluhkan, mendekatkan diri secara psikologis, dan merespon dengan penuh dukungan.
j.        Berempati (emphatizing)
Konselor lebih sensitif terhadap hal-hal subyektif konseli. Artinya konselor mampu memberikan perhatian penuh terhadap konseli, seakan konselor merasakan apa yang dirasakan oleh konseli.
k.      Menfasilitasi (facilitacing)
Bertujuan memberdayakan konseli untuk mampu mencapai tujuan-tujuannya.
l.        Memulai (initiating)
Ketrampilan memulai kegiatan dalam proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan,  dan mencari alternatif solusi.
m.    Menentukan tujuan (setting goals)
Konselor menstimulasi konseli untuk menentukan dan memperjelas tujuan dari konseling yang dilakukan.
n.      Mengevaluasi (evaluating)
Konselor harus dapat mengevaluasi apa saja yang terjadi termasuk respons, pesan, dan perasaan dirinya sendiri.
o.      Memberikan umpan baik (giving feedback)
Memberikan umpan balik yang spesifik, deskriptif dan jujur.
p.      Menjaga (protecting)
Konselor menjaga konseli terhindar dari kemungkinan resiko baik secara psikologis maupun fisik.
q.      Mendekatkan diri (disclosing self)
Membuka informasi personal dengan tujuan membuat konseli lebih terbuka. Artinya konselor memberikan informasi tentang dirinya atau menceritakan pengalamannya terhadap konseli, tujuannya agar konseli lebih terbuka.
r.        Mencontoh model (modeling)
Konseli mengobservasi tingkah laku konseli, untuk itu konselor harus dapat menampilkan nilai kejujuran, penghargaan, dan keterbukan.
s.       Mengakhiri (terminating)
Menentukan waktu dan cara mengakhiri kegiatan konseling. Ketrampilan ini dibutuhkan untuk mengakhiri konseling dengan sukses. [20]
Teknik- teknik konseling yang dijelaskan di atas adalah beberapa teknik konseling yang harus dimilki konselor dalam proses konseling. Namun sebagian pendapat mengemukakan, bahwa hanya ada satu teknik yang dikenal menurut Rogers, yaitu refleksi. Refleksi adalah cerminan komunikasi emosional. Contoh jika konseli mengatakan “ saya ini merasa seperti sampah”, maka konselor memantulkan kembali dengan “ jadi hidup anda seperti itu, ya ? “. Namun refleksi ini harus digunakan dengan hati-hati. Menurut Rogers konselor harus memiliki tiga kualitas, yaitu kongruen (keaslian, kejujuran dengan klien), empati dan respek (penerimaan tanpa syarat).[21]
Berdasarkan beberapa penjelasan tentang teknik konseling di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa konselor harus memiliki ketrampilan-ketrampilan tersebut dalam proses konseling. Tujuannya agar konseli mampu mencapai perubahan dalam menyikapi permasalahan yang sedang dialaminya. Pandangan dari pendekatan person-centered ini berulang kali menegaskan bahwa dalam diri konseli terdapat potensi untuk menghadapi kondisi-kondisi tertentu, konselor bertugas memfasilitasi konseli dengan menggunakan ketrampilan-ketrampilan tersebut.
10.  Contoh kasus dan teknik yang digunakan
Konseli datang pada konselor dalam keadaan ketidaksesuaian antara persepsi tentang dirinya dengan pengalaman mereka pada kenyataan. Konseli merasa tidak mampu, tidak berdaya dan tidak berguna bagi orang lain. Dalam kesempatan ini penulis akan mencontohkan melalui dialog yang terjadi antara konselor dengan konseli, seperti berikut:
“Konseli adalah seorang remaja putri berumur 17 tahun. Saat ini dia duduk di kelas XII di salah satu SMA yang ada di kota Yogyakarta. Dia adalah anak kedua dari dua bersaudara. Sebut saja namanya mawar.
Ki        : (konseli) assalamualaikum bu,
Kr        : (konselor) walaikum salam, ayo silahkan duduk. Gimana mawar sehat ya?  (koselor menyambut konseli dengan sapaan yang hangat dan ramah)
Ki        : ya bu Alhamdulillah sehat, tapi hatinya gak sehat bu
Kr        : bagaimana mawar, apa yang sebenarnya membuat hati mawar gak sehat? (teknik bertanya untuk menggali informasi dari konseli)
Ki        : jadi gini bu, saya itu merasa tidak dianggap dan diremehkan di keluarga, karena kakak saya bisa kuliah lanjut sampai jenjang S2, sedangkan saya merasa tidak mampu untuk kuliah. 
Kr        : mawar anak ke berapa dari berapa saudara di rumah?
Ki        : saya itu anak terakhir bu dari dua bersaudara.
Kr        : berarti mawar punya kakak.?
Kl        : iya bu saya punya kakak yang lebih pintar dari saya. tapi meskipun saya anak terakhir saya ini sudah besar bu, bukan anak kecil lagi yang manja. Saya juga bisa mandiri seperti kakak (konseli mulai mengungkapkan penyebab dia merasa tidak berdaya)
Kr        : hmm, jadi mawar anak bungsu dari dua bersaudara. Mawar merasa orang tua mawar meremehkan dan mengasingkan karena mawar tidak ingin lanjut kuliah. (refleksi)
Ki        : iya benar bu, padahal saya ini pengen banget kuliah bu sebenarnya, tapi saya ingin melanjutkan ke luar negri, tidak di Indonesia.  
Kr        : baiklah kalau begitu masalahmu adalah merasa orang tua pilih kasih, karena mereka meremehkan kamu yang tidak mau lanjut kuliah, padahal kamu menyatakan pengen kuliah tapi di luar negeri.
Kr        : apa kamu sudah pernah menguangkapkan keinginan mu kepada orang tuamu? Bahwa ingin kuliah di luar negeri.
Kl        : sudah bu, tapi mereka menganggap saya ini tidak bisa, bahasa inggrisnya kurang dan belum bisa mandiri. Padahal menurut saya bahasa inggris saya baik meskipun secara pasif, kemudian saya ini bukan anak kecil lagi, saya juga bisa mandiri seperti kakak saya bu. (konseli sudah mulai mengungkapkan ideal self, ideal menurut pribadinya)
Kr        : kalau seandainya orang tuamu mengetahui kemampuan bahasa inggris mu, kira apa yang akan dikatakan orang tua, apakah mereka akan setuju kamu belajar ke luar negeri? (konselor mencoba membuka pandangan konseli tentang kemungkinan yang akan terjadi)
Kl        : saya kira mereka akan setuju bu, dan saya senang sekali kalau orang tua saya percaya akan kemampuan saya.
Kr        : siapa yang bisa membuktikan bahwa kamu menguasai bahasa inggris ?
Kl        : ya kalau hanya saya saja yang bilang ayah ibu kurang percaya bu, hal itu bisa dibuktiin dari guru bahasa inggris atau ibu pembimbing yang mengatakan ke orang tua saya
Kr        : apakah orang tua mu bersedia datang ke sekolah untuk membicarakan hal ini?
Kl        : saya kira orang tua saya bersedia bu, karena orang tua saya termasuk orang yang senang mengetahui perkembangan anak-anaknya di sekolah.
Kr        : kalau begitu apakah kamu menyetujui bahwa besok pukul 10.00 WIB, orang tua mawar diminta untuk menemui ibu.
Kl        : iya ibu saya setuju.
Kr        : nah saat ini bagaimana perasaan kamu, atas jawaban yang kamu temukan sendiri dalam kita berbincang bincang ini
Kl        : saya merasa sedikit lega ibu, karena saya baru berfikir bahwa masalah saya bisa terselesaikan melalui ibu mengutarakan kemampuan dan keinginan saya, sehingga saya tidak lagi diremehkan di keluarga saya bu.
Kr        : alhamdulilah kalau begitu mawar, sudah mampu menyimpulkan pertemuan kita hari ini, apakah masih ada yang ditanyakan, atau kita sudah bisa mengakhirnya (teknik mengakhiri).
Kl        : sudah tidak ada bu, terima kasih ibu (sambil meminta izin dan berjabat tangan).
Dalam contoh kasus tersebut, diceritakan bahwa konseli memiliki permasalahan bahwa dirinya merasa tidak berguna, tidak berdaya karena sesuatu yang menurutnya bisa dan mampu dalam dirinya tidak ada yang mendukung untuk menjadi sebuah motivasi yang tumbuh dalam dirinya. Orang tua menganggap dirinya masih kecil, belum dewasa dan belum mampu untuk mencapai apa yang diinginkannya yaitu kuliah ke luar negeri.  Dalam diri seseorang terdapat real self dan ideal self. Saat ideal self itu tidak ada dukungan dari pihak lain, atau justru meendapat dukungan yang negatif, maka seseorang akan mengalami ketidak nyamanan, kecemasan dan tumbuh rasa tidak berdaya dalam hidupnya, maka pendekatan Rogers ini membantu konseli untuk terbebaskan dari ketidakberdayaan tersebut. Rogers mengemukakan bahwa pendekatan ini digunakan untuk mengentaskan konseli dari ketidakberfungsian potensi positif dalam diri manusia menjadi berfungsi dengan baik dan berjalan sebagaimana mestinya. Masalah itu dialami oleh berasal dari konseli dan yang mampu memperoleh jawaban pengentasannya adalah konseli itu sendiri.  Tidak ada teknik khusus dalam pendekatan ini, namun sebagian pendapat mengemukakan bahwa teknik yang perlu dikuasai adalah refleksi yang baik dan tepat.








BAB III
KESIMPULAN
A.    Kesimpulan
1.      Bahwa teori person-centered adalah teori dan pendekatan yang dibawa oleh Rogers yang awalnya pada tahun 1940 disebut nondirective conseling namun pada tahun 1951 berganti menjadi client centered yang akhirnya berkembang menjadi person centered.
2.      Dalam teori dan pendekatan ini dibawah kesadaran Rogers bahwa manusia memiliki potensi positif yang penting untuk digali, ditemukan dan ditumbuhkembangkan.
3.      Rogers mengemukakan bahwa konsep kepribadian mnausia itu ada tiga yaitu, Organism, Phenomenal Field, dan, Self.
4.      Yang perlu ditekankan bahwa dalam proses pendekatan person centered konselor diperlukan untuk melakukan pendekatan psikologis, empati dan komunikasi yang baik sehingga konseli merasa nyaman dan merasa menemukan jatidirinya. Maka, dengan demikian proses BK menjadi sukses.
















DAFTAR PUSTAKA

Dede Rahmat Hidayat, Teori & Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011

Corey Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005

Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: PT Indeks, 2014

Latipun, Psikologi Konseling, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2011

Nelson-Jones Richard, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011

Winkel & Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Yogyakarta, Media Abadi, 2013






[1] Richard Nelson-Jones, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 129
[2] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT. Refika Aditama, 2005,hlm.93
[3] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, Jakarta: PT Indeks, 2014, hlm. 261
[4] Ibid, hlm. 262
[5] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, hlm. 92
[6] Ibid, hlm. 263
[7] Latipun, Psikologi Konseling, Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2011, hlm. 61
[8] Winkel & Sri Hastuti, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Yogyakarta, Media Abadi, 2013, hlm. 397-399
[9] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling,hlm 264
[10] Dede Rahmat Hidayat, Teori & Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia Indonesia, 2011, hlm. 185
[11] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, hlm. 265
[12] Richard Nelson-Jones, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, hlm. 154-158
[13] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, hlm. 267
[14] Richard Nelson-Jones, Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, hlm. 162
[15] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, hlm. 268
[16] Ibid, hlm. 269
[17] Ibid, hlm. 269-270
[18] Gantina Komalasari, dkk, Teori dan Teknik Konseling, hlm. 264
[19] Ibid, hal. 271
[20] Ibid, hlm. 271-275
[21] Dede Rahmat Hidayat, Teori & Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling, hlm. 185-186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar