BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam menjalani kehidupan, manusia seringkali
dihadapkan pada banyak hal. Banyak persoalan hidup yang seringkali menjadi batu
sandung manusia dalam mencapai tujuan hidupnya. Hal yang demikian perlu bagi
manusia menggunakan kekuatan dan kesabaran serta aksi antisipasi dalam hidup.
Terlebih dalam diri manusia ada banyak potensi positif untuk meningkatkan
kualitas dirinya.
Namun, kenyataanya masalah demi masalah yang
menjadi aral hidup manusia seringkali mendamparkan manusia pada kenyataan yang
menyakitkan. Banyak dari mereka merasa hidupnya tidak berarti, dunia seolah
sempit dan merasa hidupnya tak seberuntung orang lain. Padahal sebenarnya
manusia sendiri adalah makhluk yang memiliki kesempurnaan dan keistimewaan
melebihi dari makhluk Tuhan yang lain.
Dengan demikian perlu kiranya manusia tahu dan
belajar mengenai present-centered. Sebab dalam teori ini, akan ditemukan
beberapa praktek konseli dan konselor yang menstimulus atau melibatkan konseli
langsung. Karena sebenarnya dalam diri manusia
ada potensi positif yang baik untuk dikembangkan.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian
pendekatan person-centered ?
2.
Bagaimana
sejarah perkembangan pendekatan person-centered
?
3.
Bagaimana
pandangan tentang manusia menurut pendekatan person-centered ?
4.
Bagaimana
konsep dasar pendekatan person-centered
?
5.
Bagaimana
proses konseling menurut pendekatan person-centered ?
6.
Apa tujuan
konseling dari pendekatan person-centered
?
7.
Bagaimana
peran dan fungsi konselor dalam pendekatan person-centered
?
8.
Bagaimana
tahap-tahap konseling yang dilakukan oleh pendekatan person-centered ?
9.
Apa saja
teknik-teknik konseling yang digunakan oleh pendekatan person-centered ?
C.
Tujuan
1.
Untuk
mengetahui pengertian pendekatan person-centered
2.
Untuk
mengetahui sejarah perkembangan
pendekatan person-centered
3.
Untuk
mengetahui pandangan tentang manusia menurut pendekatan person-centered
4.
Untuk
mengetahui konsep dasar pendekatan person-centered
5.
Untuk
mengetahui proses konseling menurut pendekatan person-centered
6.
Untuk
mengetahui tujuan konseling dari pendekatan person-centered
7.
Untuk
mengetahui peran dan fungsi konselor
dalam pendekatan person-centered
8.
Untuk
mengetahi tahap-tahap konseling yang dilakukan oleh pendekatan person-centered
9.
Untuk
mengetahui teknik-teknik konseling yang digunakan oleh pendekatan person-centered
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Pendekatan Person Centered
Pendekatan
konseling dan terapi yang dimaksudkan untuk membantu konseli memenuhi potensi
unik mereka dan menjadi pribadinya sendiri. Rogers mencoba untuk membebaskan
orang dari pengaruh orangtua pada zamannya yang menguasai pikiran, perasaan,
dan tindakan anak-anaknya.[1]
Penjelasan di
atas dapat dipahami bahwa personal centered adalah salah satu model
pendekatan yang membantu bagaimana mengfungsikan potensi positif yang ada pada
diri manusia yang memang pada hakikatnya manusia memiliki potensi positif untuk mengatasi masalahnya,
membentuk kesadaran-kesadaran dan membuat kepuutusan-keputusan. Dengan demikian
teori ini sepenuhnya diserahkan pada kesanggupan diri seorang konseli.
Pada
pendekatan ini dapat ditemukan beberapa ciri yang membedakan dengan pendekatan
lain bahwa konseli sebagai orang yang paling mengetahui dirinya sendiri, adalah
orang yang harus menemukan tingkah laku yang lebih pantas bagi dirinya. Terapi client-centered
memasukkan konsep bahwa fungsi konselor adalah tampil langsung dan bisa
dijangkau oleh konseli serta memusatkan perhatian pada pengalaman disini dan
sekarang yang tercipta melalui hubungan antara konseli dan konselor.[2]
Ciri yang
paling khas dari pendekatan ini terletak pada peran aktif konseli dalam proses
konseling. Seorang konselor bertugas memberikan fasilitas kepada konseli dalam
menemukan sendiri cara yang paling tepat dalam mengatasi permasalahan yang
terjadi pada diri konseli yang terjadi saat ini dan selanjutnya.
2.
Sejarah
Pendekatan person-centered dikembangkan oleh Dr.
Carl Rogers (1902-1987) pada tahun 1940-an. Pada awal perkembangannya Carl
Rogers menamakan non directive counseling,
pada tahun 1951 Rogers mengganti nama pendekatan non-direktif menjadi client-centered.
Rogers mengembangkan aplikasi pendekatan ini pada area yang lebih luas dan
menjangkau populasi yang lebih bervariasi seperti, konseling pasangan dan
keluarga, kelompok minoritas, kelompok antar ras dan antar kultur serta dalam
hubungan internasional. Karena luasnya area aplikasi dan pengaruh pendekatan,
yaitu tentang bagaimana manusia mendapatkan, memiliki, membagi atau menyerahkan
kekuasaan dan control atas orang lain dan atas dirinya, maka pendekatan
ini lebih dikenal sebagai pendekatan yang berpusat pada manusia (person-centered).[3]
3.
Pandangan
Tentang Manusia
Pendekatan person-centered
memiliki keyakinan bahwa individu pada dasarnya baik. Setiap manusia memiliki
dorongan dari dalam (inner directed) untuk mengembangkan strategi yang
membuat dirinya berfungsi penuh. Pendekatan ini juga memandang manusia sebagai
insan rasional, makhluk sosial, realistis dan berkembang.[4]
Beberapa
pendekatan beranggapan bahwa manusia pada hakikatnya memiliki potensi merusak
terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Namun Rogers manaruh kepercayaan penuh
terhadap potensi baik manusia dalam mengembangkan dirinya, berjuang untuk
menfungsikan secara sepenuhnya bahwa dalam diri manusia memiliki banyak potensi
positif.
Pandangan yang
seperti ini memiliki peranan implikatif terhadap praktik client-centered.
Sebab berkat pandangan filosofis bahwa
individu memiliki kesanggupan yang inheren untuk menjauhi maladjstment
menuju keadaan psikologis yang sehat, konselor meletakkan tanggung jawab
utamanya bagi proses terapi pada konseli. Dengan demikian terapi person-centered mengekarkan sejauh mana konseli
sanggup merubah diri, membentuk kesadaran dan membuat keputusan keputusan[5]
Berdasarkan
pandangan tersebut, dapat terlihat bahwa tugas konselor bukan lagi membantu
konseli menemukan alternative pemecahan masalah yang dihadapi. Pandangan
tersebut meyakini bahwa masing-masing individu mempunyai potensi diri untuk
mampu keluar dari permasalahan yang sedang dihadapi, sedangkan tugas konselor
disini mengawasi sejauh mana kemampuan konseli tersebut untuk merubah dirinya
dalam keadaan yang lebih baik. Kemudian jika terdapat kejanggalan dalam usaha
konseli, barulah konselor meluruskannya.
4.
Konsep Dasar
Pendekatan person-centered dibangun atas dua
hipotesis dasar, yaitu (1) setiap orang memiliki kapasitas untuk memahami
keadaan yang menyebabkan ketidakbahagiaan dan mengatur kembali kehidupannya
menjadi lebih baik, (2) kemampuan seseorang untuk menghadapi keadaan ini dapat
terjadi dan ditingkatkan jika konselor menciptakan kehangatan, penerimaan, dan
dapat memahami relasi (proses konseling) yang sedang dibangun. Rogers
mengemukakan konsep kepribadian yang terdiri dari tiga aspek, yaitu:
·
Organism, merupakan individu itu sendiri
·
Phenomenal Field, pengalaman-pengalaman hidup yang
bermakna
Self disebeut juga
stuktur self atau self concept, merupakan persepsi dan nilai
individu tentang dirinya atau hal-hal yang berhubungan dengan orang lain. Self
meliputi dua hal, yaitu real self merupakan gambaran sebenarnya tentang
dirinya yang nyata, dan ideal self merupakan apa yang menjadi kesukaan,
harapan atau yang idealisasi tentang dirinya. Pengertian phenomenal field
merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya baik yang disadari
maupun yang tidak disadari. Sedangkan pengertian organism merupakan
keseluruhan totalitas individu, meliputi pemikiran, perilaku, dan keadaan
fisik.[7]
Penjelasan di atas dapat diartikan bahwa
konsep kepribadian manusia itu memiliki tigas aspek, organism adalah
bentuk fisik maupun psikologis dari seseorang, phenomenal field adalah
bentuk pengalaman yang dialami oleh seseorang semasa hidupnya baik berupa
pengetahuan, pengasuhan orang tua ataupun hubungan sosial. Sedangkan self
merupakan perpaduan antara keduanya, dalam arti seorang pribadi yang memilki
pengalaman yang bermakna.
Pendapat lain mengemukakan tentang keyakinan
dasar martabat manusia dan hakikat kehidupan manusia. Keyakinan tersebut
sebagian bersifat falsafah dan sebagian lain bersifat psikologis, sebagai
berikut:
·
Setiap manusia
berhak mempunyai pandangan dan berhak menentukan haluan hidupnya sendiri, serta
bebas mengejar kepentingannya selama tidak melanggar hak-hak orang lain.
·
Manusia pada
dasarnya berakhlak baik, dapat diandalkan, dan dapat diberi kepercayaan.
·
Manusia
memiliki kemampuan, dorongan serta kecenderungan yang disebut actualizing
tendency. Dapat membawa diri dalam masyarakat, serta merealisasikan segala
potensi yang dimiliki, dan berhasil hidup secara mandiri.
·
Cara
berperilaku seseorang dan cara menyesuaikan dirinya terhadap keadaan hidup yang
dihadapinya, selalu sesuai dengan pandangannya sendiri terhadap diri sendiri
dan keadaan yang dihadapi.
·
Seseorang akan
menghadapi persoalan jika di antara unsur-unsur dalam gambaran terhadap diri
sendiri timbul konflik dan pertentangan, siapa
saya ini sebenarnya (real self) dan saya
seharusnya menjadi orang yang bagaimana (ideal self).[8]
5.
Proses
Konseling
Menurut Rogers
komponen yang digunakan konselor dalam proses konseling, seperti kemampuan
mendengar aktif (active listening), genuineness, dan paraprashing.
Point penting dalam pendekatan ini adalah konseli telah memiliki jawaban atas
permasalahan yang dihadapinya, konselor berperan dalam mendengarkan tanpa
memberi penilaian, tanpa mengarahkan, dan membantu konseli untuk merasa
diterima dan dapat memahami realitas perasaannya sendiri.[9]
Salah satu
frasa yang digunakan untuk mendeskripsikan terapi Rogers, yaitu menggunakan
analogi belajar sepeda. Ketika anda membantu seorang anak belajar naik sepeda,
anda tidak boleh hanya memberitahu bagaimana cara naik sepeda. Sebagai pelatih anda
tidak bisa menjaganya terus menerus. Ada waktunya anda membiarkan mereka jalan
sendiri. Sama halnya dengan terapi, jika dengan kebebasan dan tanggung jawab
dapat membantu konseli mencapai aktualisasi diri, maka mereka tidak akan
mencapai hal tersebut jika tetap bergantung pada konselor. Mereka perlu
mencobanya sendiri dalam kehidupan nyata. [10]
6.
Tujuan
Konseling
Konseling person-centered
bertujuan membantu konseli menemukan konsep dirinya yang lebih positif lewat
komunikasi konseling, dimana konselor mendudukkan konseli sebagai orang yang
berharga, orang yang penting, dan orang yang memiliki potensi positif dengan
penerimaan tanpa syarat. Tujuan utama pendekatan person-centered adalah
pencapaian kemandirian dan integrasi diri. [11]
Jadi menurut
tujuannya sebenarnya konselor berperan membantu konseli dalam menemukan jati
diri konseli. Teori ini menjadi urgen
karena dengan pendekatan ini seorang konseli kembali menemukan kesadaran bahwa
dirinya memiliki potensi positif dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri.
Kebanyakan
terapi person-centered memfokuskan pada membantu konseli agar lebih
dekat dengan perasaan dan proses organismic valuing-nya atau
kecenderungan mengaktualisasikan. Terdapat enam dimensi tentang tujuan-tujuan
dalam tulisan Rogers, yaitu:
·
Keterbukaan
terhadap pengalaman: memungkinkan orang untuk terlibat dalam proses kehidupan
eksistensial, dimana mereka hidup, mampu menangani perubahan, dan waspada
terhadap rentang pilihan mereka untuk menciptakan kehidupan.
·
Rasionalitas:
jika orang dekat dengan organismic experiencing-nya, pengalamannya
cenderung rasional dalam kaitannya dengan mempertahankan dan meningkatkan
organismenya.
·
Tanggung Jawab
Pribadi: Rogers mempercayakan individu menerima tanggung jawab atas
perilakunya, dan menerima tanggung jawab untuk berbeda dengan orang lain.
·
Self-Regard (penghargaan
diri): orang-orang dengan self regard tanpa syarat yang tinggi akan
menghargai dirinya, walaupun tidak pada semua perilaku.
·
Kapasitas
hubungan pribadi yang baik: menerima orang lain sebagai individu yang unik,
menghargai orang lain, berhubungan dengan terbuka dan bebas.
·
Etika hidup:
dalam hubungan sosial dengan masyarakat yang berfungsi dengan baik setidaknya
dalam dua cara, (1) mampu mengidentifikasi diri secara luas dan (2) mampu membedakan
dengan tegas antara tujuan dan sarana, dan antara baik dan buruk.[12]
7.
Peran dan
Fungsi Konselor
Dalam proses
konseling ini, konselor berperan mempertahankan tiga kondisi inti, yaitu,
kongruen (congruence) atau keaslian, penerimaan tanpa syarat (unconditional
positive regard and acceptance) dan pemahaman yang empatik dan akurat (accurate
empathic understanding).
Pertama,
kongruen berarti bahwa konselor menampilkan diri yang sebenarnya, asli,
terintegrasi dan otentik. Keaslian konselor dapat terlihat melalui respons
konselor yang muncul secara alamiah, asli, dan tidak dibuat-buat, sehingga
tidak berlebihan.[13]
Menurut pendapat lain mengatakan bahwa kongruensi maksudnya adalah realness,
kejujuran atau tidak berpura-pura, keterbukaan, dan presence (kesadaran).[14]
Konselor perlu
memiliki koneksi dengan perasaan-perasaan yang mereka alami, sehingga ibarat
pasien, konseling benar-benar merasa bertemu denga dokternya. Konselor
seyogyanya menjalin hubungan secara langsung dan menghindari penempatan konseli
sebagai objek. Konselor yang kongruen tidak sedang memainkan peran apapun,
mencoba sesopan mungkin, dan tampak professional.
Kedua, unconditional positive regard
berarti bahwa konselor dapat berkomunikasi dengan konseli secara mendalam
dan jujur sebagai pribadi. Sedangkan acceptance adalah menunjukkan
penghargaan yang spontan terhadap konseli. Penelitian Rogers mengindikasikan
bahwa semakin besar derajat perhatian (caring), pemberian (prizing),
penerimaan, dan penghargaan terhadap konseli dengan cara yang tidak posesif,
akan semakin besar pula kesempatan untuk mencapai kesuksesan konseling.[15]
Pada langkah
kedua ini konselor dituntut bekerja tanpa tendensi. Ia bekerja sepenuh hati
tanpa mengharap apapun. Barometer keberhasilan konselor dalam membantu konseli
adalah ketika mampu memberi kesempatan tidak secara menekan maka ia akan
melihat hasil perkembangan dan keberhasilan konseli dalam menyelesaikan masalahnya.
Dalam konteks ini konselor hanya dituntut melayani sepenuh hati seolah hanya
memberikan ruang tanpa tekanan dan ketentuan-ketentuan terhadap konseli.
Sehingga secara otomatis konseli merasa nyaman dan sekan menemukan jalannya.
Ketiga,
Empathy atau deep understanding adalah kemampuan konselor untuk
memahami permasalahan konseli, peka terhadap perasaan konseli sehingga konselor
mengetahui bagaimana konseli merasakan perasaannya. Kemungkinan konseli akan
menemukan beberapa aspek yang tersembunyi tentang dirinya sendiri yang
sebelumnya tidak disadari. [16]
Selain harus
memiliki kemampuan di atas, konselor juga dituntut untuk ikut lebur merasakan
apa yang dirasakan oleh konseli seolah masalah itu juga menimpa dirinya. Empati
dan ketulusan tersebut lambat laun akan membentuk kesadaran konseli sehingga ia
mampu menemukan jati dirinya yang selama ini tidak ia temukan.
8.
Tahap-tahap
Konseling
Kondisi
konseling dalam pendekatan ini dapat terlihat pada proses konseling antara
konselor dengan konseli harus ada kontak psikologis (terbangun hubungan
interpersonal). Baik konselor maupun konseli sama-sama memahami pengalamannya
sebagai sebuah relasi. Konseli berada dalam keadaan tidak seimbang, yaitu
mengalami ketidaksesuaian antara persepsi diri (ideal self) dengan
pengalaman nyata (real self). Disini konseli mencoba mengatasi
masalahnya, namun belum berhasil. Sedangkan konselor dalam keadaan yang seimbang,
terbuka terhadap perasaan dan pengalamannya terhadap konseli. Kondisi ini yang
dinamakan unconditional positive regard, dimana konselor membuka diri
tentang perasaan dan pengalamannya tanpa konseli memintanya. Kemudian konselor
dapat menghargai konseli sebagai pribadi yang unik yang mungkin memiliki nilai,
pandangan hidup, atau pengalaman yang berbeda dengannya. Sikap hangat, positif,
dan penerimaan dari konselor dapat mendorong konseli untuk menerima dirinya.
Selanjutnya konselor menunjukkan sikap empati terhadap konseli. Jika kondisi
ini mampu dirasakan oleh konseli, maka konseli akan menjadi lebih positif dan
menemukan konsep dirinya. [17]
Ketika seorang
mengalami ketidak seimbangan pada dirinya, tenntu ia mengalami hal hal
yang tidak semestinya terjadi. Dengan
demikian insiatif untuk menghilangkan hal tersebut muncul. Sehingga ia
mendatangi seorang konselor. Maka pada saat itu konselor berperan membuka diri,
memberi ruang dan penghargaan sehingga konseli sekan menemukan jalan dan
alternatif. Contoh kasus dalam pendektan ini terjadi pada seorang anak yang
salah masuk jurusan karena hanya menuruti keinginan orang tuanya. “kamu memang
anak yang baik, pintar dan membanggakan. Mama senang akhirnya kamu pilih
jurusan IPA” (padahal potensi dan perolehan nilai pada rumpun mata pelajaran
IPA hanya cukup). Oleh karenanya saat berada dalam pengalaman nyata (phonomenal
field), ia menemukan ternyata persepsi dirinya (ideal self) yang
berbentuk (anak baik, pintar dan membanggakan) tidak sesuai dengan realitas (real
self) karena potensi yang dimiliki tidak mendukung untuk ia berada di
jurusan IPA, yang pada akhirnya anak mengalami hambatan dalam mengikuti proses
belajar. Jadi, masalah yang dialami seorang timbul karena adanya
ketidaksesuaian (incongruence) antara persepsi diri (ideal self)
dengan realitas (real self).[18]
9.
Teknik-teknik
Konseling
Menurut corey,
dalam hal ini konselor harus memiliki
dan memperlihatkan berbagai keterampilan interpersonal yang dibutuhkan dalam
proses konseling.[19]
a.
Mendengar
aktif (active listening)
Yaitu memperlihatkan perkataan
konseli, sensitif terhadap kata atau kalimat yang diucapkan, intonasi dan
bahasa tubuh konseli.
b.
Mengulang
kembali (restating/praphasing)
Mengulang perkataan konseli dengan
kalimat yang berbeda. Artinya konselor mengatakan kembali inti ungkapan
konseli.
c.
Memperjelas (clarifying)
Adalah merespon pernyakataan
konseli atau pesan konseli yang membingungkan dan tidak jelas, dengan
memfokuskan pada isu-isu utama dan membantu individu tersebut untuk menemukan
dan memperjelas`perasaan-perasaannya yang bertolak belakang.
d.
Menyimpulkan (summarizing)
Merupakan keterampilan konselor
untuk menganalisis seluruh elemen-elemen penting yang muncul dalam seluruh atau
bagian sesi konseling. Kemampuan ini sangat dibutuhkan pada saat proses
transisi dari satu topik ke topik lainnya.
e.
Bertanya (questioning)
Teknik ini bertujuan untuk menggali
informasi yang lebih dalam dari konseli. Dalam bertanya terdapat dua jenis
pertanyaan. Yaitu, pertanyaan tertutup
yang hanya memberi peluang jawaban iya atau tidak dan pertanyaan terbuka dengna
mengguanakan kata tanya seperti: apa, di mana, kapan, mengapa, dan bagaimana.
f.
Menginterpretasi
(interpreting)
Kemampuan konselor dalam
menginterprestasi pikiran, perasaan, atau tingkah laku konseli.
g.
Mengkonfrontasi
(contfronting)
Merupakan cara yang kuat untuk
menantang konseli untuk melihat dirinya secara jujur. Artinya konselor
mendorong konseli untuk meneliti kembali dirnya secara jujur baik dari
perkataan atau perbuatan.
h.
Mereflesikan
perasaan (reflecting feelings)
Kemampuan untuk merespon terhadap
esensi perkataan konseli. Merefleksikan perasaan bukan sekedar memantulkan
perasaan konseli tapi termasuk ekspresinya.
i.
Memberikan
dukungan (supporting)
Konselor memberikan dukungan dan
perhatian penuh kepada konseli dengan cara mendengar aktif terhadap apa yang
konseli keluhkan, mendekatkan diri secara psikologis, dan merespon dengan penuh
dukungan.
j.
Berempati (emphatizing)
Konselor lebih sensitif terhadap
hal-hal subyektif konseli. Artinya konselor mampu memberikan perhatian penuh
terhadap konseli, seakan konselor merasakan apa yang dirasakan oleh konseli.
k.
Menfasilitasi
(facilitacing)
Bertujuan memberdayakan konseli
untuk mampu mencapai tujuan-tujuannya.
l.
Memulai (initiating)
Ketrampilan memulai kegiatan dalam
proses konseling, seperti diskusi, menentukan tujuan, dan mencari alternatif solusi.
m.
Menentukan
tujuan (setting goals)
Konselor menstimulasi konseli untuk
menentukan dan memperjelas tujuan dari konseling yang dilakukan.
n.
Mengevaluasi (evaluating)
Konselor harus dapat mengevaluasi
apa saja yang terjadi termasuk respons, pesan, dan perasaan dirinya sendiri.
o.
Memberikan
umpan baik (giving feedback)
Memberikan umpan balik yang
spesifik, deskriptif dan jujur.
p.
Menjaga (protecting)
Konselor menjaga konseli terhindar
dari kemungkinan resiko baik secara psikologis maupun fisik.
q.
Mendekatkan
diri (disclosing self)
Membuka informasi personal dengan
tujuan membuat konseli lebih terbuka. Artinya konselor memberikan informasi
tentang dirinya atau menceritakan pengalamannya terhadap konseli, tujuannya
agar konseli lebih terbuka.
r.
Mencontoh
model (modeling)
Konseli mengobservasi tingkah laku
konseli, untuk itu konselor harus dapat menampilkan nilai kejujuran,
penghargaan, dan keterbukan.
s.
Mengakhiri (terminating)
Menentukan waktu dan cara
mengakhiri kegiatan konseling. Ketrampilan ini dibutuhkan untuk mengakhiri
konseling dengan sukses. [20]
Teknik- teknik
konseling yang dijelaskan di atas adalah beberapa teknik konseling yang harus
dimilki konselor dalam proses konseling. Namun sebagian pendapat mengemukakan,
bahwa hanya ada satu teknik yang dikenal menurut Rogers, yaitu refleksi.
Refleksi adalah cerminan komunikasi emosional. Contoh jika konseli mengatakan “
saya ini merasa seperti sampah”, maka konselor memantulkan kembali dengan “
jadi hidup anda seperti itu, ya ? “. Namun refleksi ini harus digunakan dengan
hati-hati. Menurut Rogers konselor harus memiliki tiga kualitas, yaitu kongruen
(keaslian, kejujuran dengan klien), empati dan respek (penerimaan tanpa
syarat).[21]
Berdasarkan
beberapa penjelasan tentang teknik konseling di atas, dapat diambil kesimpulan,
bahwa konselor harus memiliki ketrampilan-ketrampilan tersebut dalam proses
konseling. Tujuannya agar konseli mampu mencapai perubahan dalam menyikapi
permasalahan yang sedang dialaminya. Pandangan dari pendekatan person-centered
ini berulang kali menegaskan bahwa dalam diri konseli terdapat potensi untuk
menghadapi kondisi-kondisi tertentu, konselor bertugas memfasilitasi konseli
dengan menggunakan ketrampilan-ketrampilan tersebut.
10.
Contoh kasus
dan teknik yang digunakan
Konseli datang
pada konselor dalam keadaan ketidaksesuaian antara persepsi tentang dirinya
dengan pengalaman mereka pada kenyataan. Konseli merasa tidak mampu, tidak
berdaya dan tidak berguna bagi orang lain. Dalam kesempatan ini penulis akan
mencontohkan melalui dialog yang terjadi antara konselor dengan konseli,
seperti berikut:
“Konseli
adalah seorang remaja putri berumur 17 tahun. Saat ini dia duduk di kelas XII
di salah satu SMA yang ada di kota Yogyakarta. Dia adalah anak kedua dari dua
bersaudara. Sebut saja namanya mawar.
Ki :
(konseli) assalamualaikum bu,
Kr : (konselor) walaikum salam, ayo
silahkan duduk. Gimana mawar sehat ya? (koselor menyambut konseli dengan sapaan yang
hangat dan ramah)
Ki : ya bu Alhamdulillah sehat, tapi
hatinya gak sehat bu
Kr : bagaimana mawar, apa yang sebenarnya
membuat hati mawar gak sehat? (teknik bertanya untuk menggali informasi dari
konseli)
Ki : jadi gini bu, saya itu merasa tidak
dianggap dan diremehkan di keluarga, karena kakak saya bisa kuliah lanjut sampai jenjang S2,
sedangkan saya merasa tidak mampu untuk kuliah.
Kr : mawar anak ke berapa dari berapa
saudara di rumah?
Ki : saya itu anak terakhir bu dari dua
bersaudara.
Kr : berarti mawar punya kakak.?
Kl : iya bu saya punya kakak yang lebih
pintar dari saya. tapi meskipun saya anak terakhir saya ini sudah besar bu,
bukan anak kecil lagi yang manja. Saya juga bisa mandiri seperti kakak (konseli
mulai mengungkapkan penyebab dia merasa tidak berdaya)
Kr : hmm, jadi mawar anak bungsu dari dua
bersaudara. Mawar merasa orang tua mawar meremehkan dan mengasingkan karena
mawar tidak ingin lanjut kuliah.
(refleksi)
Ki : iya benar bu, padahal saya ini pengen
banget kuliah bu sebenarnya, tapi saya ingin melanjutkan ke luar negri, tidak
di Indonesia.
Kr : baiklah kalau begitu masalahmu adalah
merasa orang tua pilih kasih, karena mereka meremehkan kamu yang tidak mau
lanjut kuliah, padahal kamu menyatakan pengen kuliah tapi di luar negeri.
Kr : apa kamu sudah pernah menguangkapkan
keinginan mu kepada orang tuamu? Bahwa ingin kuliah di luar negeri.
Kl : sudah bu, tapi mereka menganggap saya
ini tidak bisa, bahasa inggrisnya kurang dan belum bisa mandiri. Padahal
menurut saya bahasa inggris saya baik meskipun secara pasif, kemudian saya ini
bukan anak kecil lagi, saya juga bisa mandiri seperti kakak saya bu. (konseli
sudah mulai mengungkapkan ideal self, ideal menurut pribadinya)
Kr : kalau seandainya orang tuamu
mengetahui kemampuan bahasa inggris mu, kira apa yang akan dikatakan orang tua,
apakah mereka akan setuju kamu belajar ke luar negeri? (konselor mencoba
membuka pandangan konseli tentang kemungkinan yang akan terjadi)
Kl : saya kira mereka akan setuju bu, dan
saya senang sekali kalau orang tua saya percaya akan kemampuan saya.
Kr : siapa yang bisa membuktikan bahwa kamu
menguasai bahasa inggris ?
Kl : ya kalau hanya saya saja yang bilang
ayah ibu kurang percaya bu, hal itu bisa dibuktiin dari guru bahasa inggris
atau ibu pembimbing yang mengatakan ke orang tua saya
Kr : apakah orang tua mu bersedia datang ke sekolah untuk membicarakan hal ini?
Kl : saya kira orang tua saya bersedia bu,
karena orang tua saya termasuk orang yang senang mengetahui perkembangan
anak-anaknya di sekolah.
Kr : kalau begitu apakah kamu menyetujui
bahwa besok pukul 10.00 WIB, orang tua mawar diminta untuk menemui ibu.
Kl : iya ibu saya setuju.
Kr : nah saat ini bagaimana perasaan kamu,
atas jawaban yang kamu temukan sendiri dalam kita berbincang bincang ini
Kl : saya merasa sedikit lega ibu, karena
saya baru berfikir bahwa masalah saya bisa terselesaikan melalui ibu
mengutarakan kemampuan dan keinginan saya, sehingga saya tidak lagi diremehkan
di keluarga saya bu.
Kr : alhamdulilah kalau begitu mawar, sudah
mampu menyimpulkan pertemuan kita hari ini, apakah masih ada yang ditanyakan,
atau kita sudah bisa mengakhirnya (teknik mengakhiri).
Kl : sudah tidak ada bu, terima kasih ibu
(sambil meminta izin dan berjabat tangan).
Dalam contoh kasus tersebut, diceritakan bahwa
konseli memiliki permasalahan bahwa dirinya merasa tidak berguna, tidak berdaya
karena sesuatu yang menurutnya bisa dan mampu dalam dirinya tidak ada yang
mendukung untuk menjadi sebuah motivasi yang tumbuh dalam dirinya. Orang tua
menganggap dirinya masih kecil, belum dewasa dan belum mampu untuk mencapai apa
yang diinginkannya yaitu kuliah ke luar negeri. Dalam diri seseorang terdapat real self
dan ideal self. Saat ideal self itu tidak ada dukungan dari pihak lain,
atau justru meendapat dukungan yang negatif, maka seseorang akan mengalami
ketidak nyamanan, kecemasan dan tumbuh rasa tidak berdaya dalam hidupnya, maka
pendekatan Rogers ini membantu konseli untuk terbebaskan dari ketidakberdayaan
tersebut. Rogers mengemukakan bahwa pendekatan ini digunakan untuk mengentaskan
konseli dari ketidakberfungsian potensi positif dalam diri manusia menjadi
berfungsi dengan baik dan berjalan sebagaimana mestinya. Masalah itu dialami
oleh berasal dari konseli dan yang mampu memperoleh jawaban pengentasannya
adalah konseli itu sendiri. Tidak ada
teknik khusus dalam pendekatan ini, namun sebagian pendapat mengemukakan bahwa
teknik yang perlu dikuasai adalah refleksi yang baik dan tepat.
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
1.
Bahwa teori person-centered
adalah teori dan pendekatan yang dibawa oleh Rogers yang awalnya pada tahun
1940 disebut nondirective conseling namun pada tahun 1951 berganti
menjadi client centered yang akhirnya berkembang menjadi person
centered.
2.
Dalam teori dan
pendekatan ini dibawah kesadaran Rogers bahwa manusia memiliki potensi positif
yang penting untuk digali, ditemukan dan ditumbuhkembangkan.
3.
Rogers
mengemukakan bahwa konsep kepribadian mnausia itu ada tiga yaitu, Organism, Phenomenal Field, dan, Self.
4.
Yang perlu
ditekankan bahwa dalam proses pendekatan person centered konselor
diperlukan untuk melakukan pendekatan psikologis, empati dan komunikasi yang
baik sehingga konseli merasa nyaman dan merasa menemukan jatidirinya. Maka,
dengan demikian proses BK menjadi sukses.
DAFTAR PUSTAKA
Dede Rahmat Hidayat, Teori &
Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia Indonesia,
2011
Corey
Gerald, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2005
Gantina Komalasari,
dkk, Teori dan Teknik Konseling,
Jakarta: PT Indeks, 2014
Latipun, Psikologi Konseling,
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2011
Nelson-Jones Richard, Teori
dan Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011
Winkel & Sri
Hastuti, Bimbingan dan Konseling di
Institusi Pendidikan, Yogyakarta, Media Abadi, 2013
[1] Richard Nelson-Jones,
Teori dan Praktik Konseling dan Terapi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2011, hlm. 129
[2] Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi,
Bandung: PT. Refika Aditama, 2005,hlm.93
[8] Winkel & Sri
Hastuti, Bimbingan dan Konseling di
Institusi Pendidikan, Yogyakarta, Media Abadi, 2013, hlm. 397-399
[10] Dede Rahmat Hidayat, Teori
& Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling, Bogor: Ghalia
Indonesia, 2011, hlm. 185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar