Rabu, 25 November 2015

LANDASAN PENDIDIKAN ISLAM


BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Manusia di dunia ini diciptakan dengan dibekali akal fikiran, dan perasaan. Perbedaan manusia dengan makhluk lainnya terletak pada akal, karena Allah hanya membekali akal kepada manusia, maka manusialah yang disebut dengan makhluk yang sempurna. Adanya akal adalah untuk manusia itu berfikir, untuk memperoleh dan memahami ilmu Allah. Dengan ilmu manusia mampu mengerti alam semesta ini. Dalam FirmanNya Allah juga menjanjiakan bagi orang-orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya, hal ini sebagai bukti bahwa betapa ilmu itu sangat dibutuhkan oleh manusia.
Segala amal perbuatan yang dilakukan oleh manusia ditunjukkan untuk mencapai ridho Allah, untuk mensyukuri atas kenikmatan yang telah diberikan, serta bentuk iman dan takwa manusia terhadap Dzat Yang Maha Segalanya. Manusia memahami baik dan buruknya amal perbuatan yang akan dilakukan adalah berdasarkan ilmu yang dimilki. Tanpa ilmu manusia tidak mungkin memahami bagaimana cara beribadah kepadaNya, bagaimana mewujudkan bentuk keimanan terhadapNya. Bisa diartikan bahwa antara ilmu pengetahuan, iman dan amal itu mempunyai kesinambungan di antara ketiganya. Dalam makalah ini akan dibahas tentang ketiga hal tersebut dan beberapa hal terkait ilmu pengetahuan. 
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian dari Ilmu Pengetahuan, Iman dan Amal Shalih ?
2.      Apa hubungan di antara ketiganya ?
3.      Bagaimana metode memperoleh ilmu pengetahuan dalam Islam ?
4.      Darimana sumber ilmu pengetahuan dalam Islam?
5.      Bagaimana Kedudukan Ilmu dalam Islam ?
6.      Bagaimana etika penggunaan ilmu pengetahuan dalam Islam ?




BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ilmu Pengetahuan, Iman, dan Amal Shaleh
Istilah ilmu dalam pengertian klasik dipahami sebagai pengetahuan tentang sebab akibat atau asal usul. Gaston Bachelard menyatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menyesuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. [1]
Ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia yang secara khusus dengan objek tertentu, terstruktur, tersistematis, menggunakan seluruh potensi kemanusiaan dan dengan menggunakan metode tertentu, menyingkapkan tabir yang menutup realitas. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan memungkinkan manusia lebih leluasa untuk berkomunikasi dengan sesamanya serta alam semesta dan dengan demikian meningkatkan martabat manusia. Dengan menemukan kebenaran maka kualitas manusia menjadi teruji, dengan ilmu pengetahuan maka manusia menjadi makhluk paling mulia di muka bumi ini. [2] Seperti dalam Firman Allah (QS. Al Mujadallah: 11)
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) Ÿ@ŠÏ% öNä3s9 (#qßs¡¡xÿs? Îû ħÎ=»yfyJø9$# (#qßs|¡øù$$sù Ëx|¡øÿtƒ ª!$# öNä3s9 ( #sŒÎ)ur Ÿ@ŠÏ% (#râà±S$# (#râà±S$$sù Æìsùötƒ ª!$# tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä öNä3ZÏB tûïÏ%©!$#ur (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# ;M»y_uyŠ 4 ª!$#ur $yJÎ/ tbqè=yJ÷ès? ׎Î7yz ÇÊÊÈ  
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.[3]
Ilmu pada mulanya timbul dari usaha manusia dalam kebudayaannya untuk memahami alam yang kemudian diterapkan untuk memenuhi keingintahuan manusia, perkembangan ilmu merupakan salah satu ciri akal manusia dalam kebudayaan. Hasrat untuk mencari mata rantai serta benang merah kesatuan dalam keanekaragaman fakta, data, dan gejala merupakan sumber inspirasi yang menghasilkan ilmu pengetahuan.[4]
Artinya bahwa ilmu pengetahuan merupakan hasil dari usaha manusia untuk mengetahui tentang segala sesuatu di dunia ini, serta menyesuaikan hasil pemikirannya dengan kenyataaan yang ditemukan di dunia ini.
Pembahasan selanjutnya adalah tentang makna iman, bahwa dasar pemikiran bagi perjalanan dan kehidupan praktis ummat manusia menurut istilah Al Qur’an disebut sebagai iman. Kata iman itu sendiri terdiri dari tiga huruf asal: Hamzah, Mim, dan Nun, yang merupakan kata kerja dari mashdar al-amn (keamanan). Iman mengandung arti ketentraman dan kedamaian kalbu, yang dari kata itu pula muncul kata al-amanah (bisa dipercaya).  Yang dimaksud dengan keimanan seseorang terhadap sesuatu adalah bahwa dalam hati orang tersebut telah tertanam kepercayaan dan keyakinan tentang sesuatu. Sedangkan yang disebut kuat iman adalah orang yang sesudah menanamkan keyakinannya, membangun sepak terjang hidupnya di atas asas yang kokoh dan kuat yang betul-betul bisa dijadikan pegangan serta memberikan jaminan ketentraman bahwa amal-amal yang dilaksakannya pasti sesuai dengan keyakinan itu.[5]
Kemudian tentang pengertian amal shalih menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perbuatan yang sungguh-sungguh dalam menjalankan ibadah atau menunaikan kewajiban agama seperti perbuatan baik terhadap sesama manusia. [6] Dapat diartikan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam rangka beribadah kepada Allah SWT sebagai hambaNya yang bertaqwa untuk mencapai ridhoNya.
B.     Hubungan antara Ilmu Pengetahuan, Iman dan Amal Shalih
Untuk membahas ilmu, iman dan amal shalih terlebih dahulu memahami tujuan ilmu. Dalam pemikiran Islam, ilmu itu memiliki peran instrumen atau sarana untuk mencapai tujuan Islam, yaitu kebahagiaan di dunia maupun akhirat. Dimana dalam kehidupan di dunia manusia harus senantiasa mengabdikan diri kepada Allah sebagai hambaNya untuk memperoleh ridha dan kebahagiaan kelak, oleh sebab itu ilmu harus memiliki tujuan ke arah ibadah. [7]
Sistem moral dalam Islam berpusat pada sikap mencari ridha Allah. Ilmu membuahkan iman dan iman membuahkan khusyu’ dan tawadhu’ kepada Allah. Jadi dalam ajaran Islam, sistem moral itulah yang akan menjadi kontrol atau kendali bagi perbuatan manusia. Ilmu tanpa kendali iman akan menyesatkan dan akan mendatangkan malapetaka, oleh sebab itu ilmu, iman dan amal shalih harus selalu seiring dan inheren dalam diri seorang muslim. [8]
Sebagaimana konsep Islam, bahwa iman adalah pengakuan dengan lisan dan praktik dalam bentuk amal shalih. Orang yang berilmu dituntut untuk mengamalkan ilmunya, karena amal adalah buah atau hasil. Amal disini memiliki arti yang luas, amal untuk dirinya sendiri dan amal untuk orang lain. Amal untuk dirinya sendiri misalnya, segala ilmu yang dimiliki itu dipraktikan dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan amal untuk orang lain misalnya, segala ilmu yang dimiliki itu disampaikan kepada orang lain. [9]
Dalam hal ini, iman merupakan suatu hal yang sangat sentral dalam sistem pemikiran apapun. Tanpa iman ia akan tinggal sebagai pendapat yang kosong. Hubungan ilmu dan agama (Islam) adalah hubungan yang simbiotik, karena agama menyeru kepada pencarian ilmu dan memberikan posisi mulia bagi para ilmuwan. Agama menjadi pembimbing bagi ilmu agar terarah dan terkendali langkahnya, menurut Zaitun (1984: 66) ilmu menjadi salah satu jalan menuju keimanan. [10]
Beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan antara ilmu, iman dan amal shalih merupakan satu kesatuan yang harus dimiliki dalam diri seorang muslim. Dimana ilmu menjadi penghubung di antara keduanya. Seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan hendaknya mengamalkannya baik untuk diri sendiri maupun disebarluaskan kepada orang lain. Seseorang mengenal siapa Tuhannya berbekal dari ilmu pengetahuan yang dimiliki, dengan kata lain ilmu pengetahuan akan menumbuhkan iman dalam diri manusia, menjadi tawadhu dan khusu’ terhadap Tuhannya. Dengan demikian, antara ilmu pengetahuan, iman dan amal shalih terdapat keterkaitan diantara ketiganya.
C.    Metode Perolehan Ilmu Pengetahuan
Dalam pembicaraan mengenai masalah ilmu pengetahuan, yang dimaksudkan dengan metode adalah cara-cara penyelidikan yang bersifat keilmuan, yaitu sering disebut metode ilmiah. Menurut Titus dkk, bahwa metode ilmiah berkecenderungan untuk memperoleh pengetahuan benar dan objektif dan dapat dibuktikan, juga cenderung bermacam-macam, tergantung kepada watak bahan atau problem yang diselidiki. Selain itu juga menunjukkan beberapa indikasi antara lain, bersifat observatif (menurut pengamatan ilmiah dengan menggunakan pengindraan untuk mengambil kesimpulan tentang hubungan, sebab akibat, serta arti situasi), trial and error(melakukan percobaan-percobaan untuk memperoleh keberhasilan), ekperimental(peneliti menggunakan teknik mengontrol keadaan), dan ada yang dengan cara statistik dan sampling (dengan menentukan sample, peneliti mengumpulkan data-data untuk dianalisis dan diklasifikasikan untuk kepentingan induksi).[11]
Di dalam sejarah filsafat lazim dikatakan bahwa pengetahuan diperoleh melalui salah satu dari empat jalan sebagai berikut:
1.      Pengetahuan diperoleh dari budi
2.      Pengetahuan diperoleh dari bawaan lahir
3.      Pengetahuan diperoleh dari indar-indra khusus, yaitu penglihatan, dan pendengaran
4.      Pengetahuan berasal dari penghayatan langsung atau ilham. [12]
Pengetahuan adalah pengalaman yang dirasionalkan. Membudikan pengalaman adalah mengorganisasikannya. Jadi pengalaman dan budi tidak harus bertentangan sebab keduanyalah yang membentuk pengetahuan. [13] Sedangkan pengetahuan dari bawaan lahir seperti pengetahuan tentang cara makan adalah melalui mulut bukan melalui hidung, atau bisa disebut dengan pengetahuan dasar yang dimiliki seseorang dalam kehidupannya. Selanjutnya ada pengetahuan yang diperoleh dari indra, menurut penulis adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang berdasarkan apa yang ia lihat dan ia dengar, seperti mengetahui bahwa nama benda untuk makan adalah sendok dan piring. Terakhir pengetahuan dari penghayatan atau ilham, ini adalah pengetahuan yang diperoleh seseorang melalui pendekatan atau taqarrubnya kepada Allah sehingga memperoleh ilham, misalnya para Nabi dan Rasul Allah.
D.    Sumber ilmu pengetahuan dalam Islam
Ilmu termasuk filsafat pendidikan haruslah diambil dari berbagai sumber. Sumber-sumber itu harus dikaitkan dengan Islam yang terdiri dari akidah, diterima akal sehat, dikaitkan dengan nilai-nilai akhlak, dan prinsip-prinsip dan fakta-fakta yang tidak dapat diragukan mengenai alam semesta dan kehidupan, yang terkandung di dalam sumber-sumber Islam. Sumber pokok Islam adalah Al Qur’an dan Hadist, dapat menampung tuntutan kehidupan modern dan mengikuti setiap kemajuan kebudayaan dan peradaban manusia. Al qur’an merupakan sumber utama filsafat umum, filsafat pendidikan Islam, pembangunan kebudayaan, sosial, ekonomi dan politik. Jadi Islam dengan sumber Al Qur’an dan Hadist haruslah merupakan sumber asasi bagi prinsip dimana ditegakkan filsafat dan teori pendidikan sebab ia mengandung potensi yang menyeluruh, fleksibel yang menyebabkannya memuat dan meliputi semua prinsip, nilai baik dan berguna bagi kehidupan manusia yang berasal dari sumber-sumber lain. [14]
Dalam konteks lain, dalam kehidupan ini sumber pengetahuan itu sesungguhnya beragam dan berbeda. Para filosofos Islam menyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan[15], yaitu:
1.      Alam tabi’at atau alam fisik
Alam tabi’at merupakan sumber pengetahuan yang barangkali paling awal dan indra merupakan alat untuk berpengetahuan yang sumbernya tabi’at. Tanpa indra, manusia tidak dapat mengetahui alam tabi’at. Disebutkan bahwa barang siapa tidak mempunyai satu indra maka ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan. [16]
2.      Alam Akal
Kaum rasionalis meyakini bahwa sebenarnya akal menjadi alat pengetahuan, sedangkan indra hanya pembantu saja. Indra hanya merekam atau memotret realita yang berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Tetapi tanpa indra, pengetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada. [17]
3.      Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi disebut qiyas. Analogi ialah menetapkan hukum (baca: predikat) atas sesuatu hukum yang telah ada pada sesuatu yang lain karena adanya kesamaan antara dua sesuatu itu. Analogi tersusun dari beberapa unsur, 1) asal, yaitu kasus parsial yang hukumnya, 2) cabang, kasus parsial yang hendak diketahui hukumnya, 3) titik kesamaan antara asal dan cabang, dan 4) hukum yang sudah ditetapkan atas asal.[18]
4.      Hati dan Ilham
Ada beberapa pra-syarat untuk memiliki pengetahuan, yaitu konsentrasi, akal yang sehat dan indra yang sehat. Jika syarat-syarat itu terpenuhi maka seseorang akan mendapatkan pengetahuan lewat indra dan akal. Kemudian pengetahuan dapat dimiliki lewat hati. Pengetahuan ini akan diraih dengan syarat seperti, membersihkan hati dari kemaksiatan, memfokuskan hati kepada alam yang lebih tinggi, mengosongkan hati dari fanatisme dan mengikuti aturan syara’. Seseorang yang hatinya seperti itu akan terpantul di dalamnya cahaya Illahi dan kesempurnaanNya. Namun, ada beberapa hal yang menjadi penghalang pengetahuan seperti, sifat sombong, fanatisme, taqlid (buta tanpa dasar yang kuat), dan mencintai materi terlalu berlebihan. [19]
E.     Kedudukan Ilmu dalam Islam
Dalam Al Qur’an dan Hadist banyak sekali dijelakan tentang keutamaan ilmu, dan sahabat Nabi Umar bin Khathab mengatakan, “ Wahai sekalian manusia. Hendaklah kalian menuntut ilmu, karena sesungguhnya Allah memiliki selendang kecintaan bagi siapa yang mempelajari ilmu. Sedangkan Imam Muhammad bin Hanbal pernah berkata, kebutuhan manusia akan ilmu jauh lebih besar dari pada kebutuhannya terhadap makan dan minum. Menurut Mu’az bin Jabal, dengan ilmu Allah bisa ditaati, disembah dan diesakan.[20]
 Hal tersebut di atas membuktikan bahwa Islam sangat mengutamakan kedudukan ilmu. Adapun kedudukan ilmu dalam Islam sebagai berikut:
1.      Ilmu sebagai Petunjuk Keimanan
Ilmu yang benar oleh Islam dianggap sebagai pembawa dan penunjuk keimanan. Allah berfirman:
zNn=÷èuÏ9ur šúïÏ%©!$# (#qè?ré& zOù=Ïèø9$# çm¯Rr& ,ysø9$# `ÏB šÎi/¢ (#qãZÏB÷sãŠsù ¾ÏmÎ/ |MÎ6÷çGsù ¼ã&s! öNßgç/qè=è% 3 ¨bÎ)ur ©!$# ÏŠ$ygs9 tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä 4n<Î) :ÞºuŽÅÀ 5OŠÉ)tGó¡B ÇÎÍÈ  
dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu, meyakini bahwasanya Al Quran Itulah yang hak dari Tuhan-mu lalu mereka beriman dan tunduk hati mereka kepadanya dan Sesungguhnya Allah adalah pemberi petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang lurus.
Makna yang terkandung dalam ayat di atas bahwa ilmu terlebih dahulu kemudian iman. Agar mereka tahu, kemudian beriman. Sedangkan iman diiringi oleh gerak hati dalam bentuk ikhbat (takut dan segan), khusyu’ (penuh konsentrasi) kepada Allah. Demikianlah, ilmu membuahkan iman, dan iman membuahkan ikhbat dan tawadhu’ kepada Allah Tuhan semesta alam. [21]
Ilmu yang baiklah yang menghidayati keimanan, dan iman yang haklah yang melapangkan wawasan ilmu. Dengan demikian, keduanya merupakan sejoli yang saling bertafahum. Bahkan keduanya saling bekerja sama. Islam menghendaki ilmu yang berada di bawah naungan iman dan segala nilainya luhur. [22]
Kutipan di atas menjelaskan bahwa ilmu datang sebelum iman. Dengan bekal ilmu manusia mampu mengetahui dan memahami siapa penciptanya, sehingga muncul iman dalam diri manusia untuk mampu bertaqwa kepada Allah SWT.
2.      Ilmu sebagai Petunjuk Beramal
Menurut pandangan Islam, selain sebagai petunjuk keimanan, ilmu juga menjadi petunjuk beramal. Imam Al Bukhari dalam kitab Al Jami’ ush Shahih mengemukakan bahwa ilmu merupakan syarat sahnya berbicara dan berbuat. Ucapan dan perbuatan tidak berarti apa-apa kecuali bila didasari ilmu yang harus terlebih dahulu ada. Berawal dengan ilmu, kemudian beramal. Adapun induk ilmu adalah ma’rifatullah (mengenal Allah) dan mengesakan-Nya. Ilmu adalah syarat penting bagi amal, agar amal menjadi shahih dan berlalu dengan mulus menurut perintah Allah, baik itu berupa ibadah kepada Allah ataupun dalam bentuk muamalah sesama manusia. [23]
Muaz meriwayatkan sebuah hadist tentang keutamaan ilmu, ia mengatakan, “ ilmu merupakan imamnya amal, dan amal sebagai pengikutnya. “ suatu ibadah tidak bakal berjalan dengan benar jika pelakunya tidak mengerti apa syarat yang wajib diikuti dan rukun yang wajib dipenuhi. [24] Seseorang hendaknya memahami suatu ibadah yang dikerjakan itu sesuai secara syarat dan rukunnya itu benar atau tidak, dan untuk memahaminya seseorang harus berilmu. Maka bisa dikatakan bahwa dengan ilmu seseorang mampu memahami makna dari amal ibadah yang dilakukannya.
Karena sesungguhnya ilmulah yang bisa menilai suatu perbuatan benar atau tidak, yang membedakan yang afdhal dengan yang tidak, membedakan yang shahih dengan yang tidak shahih, membedakan yang diterima dengan yang ditolak, membedakan sunnah dengan yang bid’ah. Ilmulah yang bisa memberikan harga dan nilai hukum segala bentuk perbuatan. [25]
Di samping itu, ilmu pengetahuan mempunyai kedudukan tertinggi dalam pandangan Islam, yaitu: 1) Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencari kebenaran, 2) Ilmu pengetahuan sebagai prasarat amal shalih, 3) Ilmu pengetahuan adalah alat untuk mengelola sumber-sumber alam guna mencapai ridha Allah Swt, 4) Ilmu pengetahuan sebagai alat penghubung daya pikir, dan 5) Ilmu pengetahuan sebagai hasil pengembangan daya fikir. [26]  
Ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam tidak dapat dipisahkan, karena perkembangan masyarakat Islam serta tuntutannya dalam membangun membangun seutuhnya (jasmani-rohani) sangat ditentukan oleh kualitas dan kuantitas ilmu pengetahuan yang dicerna melalui proses pendidikan. [27] Artinya bahwa ilmu pengetahuan itu bisa diperoleh melalui proses pendidikan, sehingga antara ilmu pengetahuan dan pendidikan Islam merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Pendidikan Islam sebagai tempat diperolehnya ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan merupakan hasil dari terlaksananya sebuah pendidikan.
F.     Etika Penggunaan ilmu
Etika memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu, namun tidak dapat disangkal etika berperan dalam perbincangan tentang ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia. Tanggung jawab etis tentu saja tidak selamanya menghambat perkembangan ilmu pengetahuan bahkan sebaliknya adanya beban tanggung jawab etis dapat lebih memacu perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Tujuannya adalah supaya manusia terinspirasi, termotivasi, dan terpacu mengembangkan ilmu pengetahuan yang tidak mencelakakan diri dan generasinya sendiri. Tentu saja kesadaran manusia untuk memahaminya harus secara terus menerus dibangkitkan tanpa henti. [28]
Penjelasan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam menggunakan maupun mengembangkan ilmu pengetahuan hendaknya memperhatikan kepentingan-kepentingan generasi selanjutnya. Subyek yang mencari ilmu pengetahuan adalah manusia, dan ilmu pengetahuan itu untuk kepentingan manusia itu sendiri. Memudahkan manusia dalam memenuhi kebutuhannya di dunia ini, untuk itu dalam penggunaanya harus didasari rasa tanggung jawab dan memiliki, tidak merusak maupun menyalahgunakan ilmu pengetahuan tersebut.






BAB III
KESIMPULAN

Dari penjelasan pada bab sebelumnya, dapat penulis simpulkan menjadi beberapa hal yang penting, seperti berikut:
1.      Pengertian dari Ilmu Pengetahuan merupakan hasil dari usaha manusia untuk mengetahui tentang segala sesuatu di dunia ini, serta menyesuaikan hasil pemikirannya dengan kenyataaan yang ditemukan di dunia ini.
2.      Pengertian Iman adalah kepercayaan dan keyakinan seseorang terhadap sesuatu yang mampu menciptakan kenyamanan dalam batinnya.
3.      Pengertian amal adalah perbuatan yang dilakukan seseorang dalam rangka untuk beribadah kepada Allah SWT.
4.      Hubungan ketiganya bahwa dengan ilmu pengetahuan sesorang mampu mengetahui siapa Tuhannya, sehingga tumbuh iman di dalam dirinya. Seseorang yang beriman akan melakukan amal shalih sebagai wujud taqwa terhadapNya. Dengan ilmu pengetahuan pula seseorang mampu memahami amalan apa yang seharusnya dilakukan dan ditinggalkan dalam beribadah.
5.      Metode memperoleh pengetahuan dalam bersifat observatif, trial and error dan eksperimental.
6.      Sumber pengetahuan dalam Islam, sumber pokoknya adalah Al Qur’an dan Hadist. Sedangkan para filosofis berpendapat terdapat beberapa sumber pengetahuan dan alat pengetahuan, seperti alam fisik, alam akal, analogi, hati dan ilham.
7.      Keutamaan ilmu dalam Islam, yaitu ilmu sebagai petunjuk keimanan dan ilmu sebagai petunjuk beramal. 
8.      Etika penggunaan ilmu, sebaiknya ilmu yang dimiliki itu dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan generasi selanjutnya.




DAFTAR PUSTAKA

ABD. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Yogyakarta: TERAS, 2009

Abul A’la Maududi, Dasar-dasar Iman, Bandung: Pustaka, 1986

Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: LESFI, 2002

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989

Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010

M. Zainudin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Bayumedia, 2003

Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2009

Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media,2005

Yusuf Al Qardlawi, Metode dan Etika  Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, Bandung: CV ROSDA, 1989









[1] Rizal Mustansyir & Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2009, hlm. 139
[2] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: LESFI, 2002, hlm. 125
[3] QS. Al Mujadallah:58:11
[4] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia,...hlm. 126
[5] Abul A’la Maududi, Dasar-dasar Iman, Bandung: Pustaka, 1986, hlm. 3
[6] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hlm. 25
[7] M. Zainudin, Filsafat Ilmu Perspektif Pemikiran Islam, Bayumedia, 2003, hlm. 109-111
[8] Ibid, hlm. 113-115
[9] Ibid, hlm. 116
[10] Ibid, hlm. 123-124
[11] Suparlan Suhartono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Ar Ruzz Media,2005,hlm. 93-96
[12] ABD. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, Yogyakarta: TERAS, 2009, hlm. 98
[13] Ibid, hlm. 99
[14] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010, hlm. 41-43
[15] ABD. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, ... hlm. 101
[16] Ibid, hlm. 101
[17] Ibid, hlm. 103
[18] Ibid, hlm. 104
[19] Ibid, hlm. 104
[20] Yusuf Al Qardlawi, Metode dan Etika  Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, Bandung: CV ROSDA, 1989, hlm. 8-9
[21] Ibid, hlm. 12
[22] Ibid, hlm. 14
[23] Ibid, hlm. 15-16
[24] Ibid, hlm. 17
[25] Ibid, hlm. 18
[26] ABD. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam, ...hlm.105-106
[27] Ibid, hlm. 107
[28] Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia,...hlm. 49-50